Minggu, 23 November 2014

Penilaian Sebelum UAS Ganjil 2014-2015



KUMPULKAN PALING LAMBAT KAMIS 27 NOVEMBER 2014

1. Penilaian Sikap
Ketentuannya:
a. Setiap Peserta didik harus mengisi 2 penilaian, yaitu penilaian diri sendiri ( 1 lembar) dan penilaian antar teman (2 lembar) pada tiap materi pelajaran, Teks Anekdot, Teks Eksposisi, dan Teks Laporan Observasi. Jadi 3 x 3 = 9, untuk semester ganjil ini tiap peserta didik mengumpulkan lembar penilaian ini sebanyak 9 lembar.
b. Penilaian dilakukan dengan mengutamakan kejujuran.
c. Silahkan download lembar penilaian di bawah ini:
[LEMBAR PENILAIAN DIRI SENDIRI]
[LEMBAR PENILAIAN ANTAR TEMAN]



2. Ulangan Harian Laporan Observasi
Silahkan download di bawah ini:
[SOAL UH LAPORAN OBSERVASI]

dan untuk yang belum ikut UH dan UTS sebelumnya, silahkan download di bawah ini:
[SOAL UH ANEKDOT]
[SOAL UH EKSPOSISI]
[SOAL UTS BIN]


3. Daftar Peserta Didik yang Belum Mengumpulkan Tugas
Berikut nama-nama yang belum mengumpulkan tugas

NoNamaKelasTugas Yang Belum di Kumpulkan
1Abdul Rahman SidiqX Elek 1Contoh Teks Anekdot
2Dede ZakariaX Elek 1Contoh Teks Anekdot
3Doni IswantoX Elek 1Contoh Teks Anekdot
4Igna Rendra DuhitaX Elek 1Contoh Teks Eksposisi
5Salman AlfariziX Elek 1Contoh Teks Anekdot + Eksposisi
6Zenal Muhammad SanusiX Elek 1Contoh Teks Eksposisi
7Ardi ArmandaX Elek 2Contoh Teks Anekdot + Eksposisi + UH Eksposisi + UTS
8Arul PradanaX Elek 2Contoh Teks Eksposisi + UH Eksposisi
9Della HanifahX Elek 2Contoh Teks Anekdot
10Fahri LesmanaX Elek 2Contoh Teks Anekdot
11Alexs RicardoX Elek 3Contoh Teks Eksposisi
12Ardian WijayaX Elek 3Contoh Teks Anekdot
13Chikita Aulia PutriX Elek 3Contoh Teks Eksposisi
14Diki PrayogaX Elek 3Contoh Teks Eksposisi
15JunaediX Elek 3UH Eksposisi
16Muhammad FachriX Las 1Contoh Teks Eksposisi
17Rahmat HidayatX Las 1Contoh Teks Eksposisi
18Ricky GunawanX Las 1Contoh Teks Eksposisi
19Rizki AndriansyahX Las 1Contoh Teks Eksposisi + UH Eksposisi + UH Anekdot + UTS
20Rizky WahyudiX Las 1Contoh Teks Eksposisi
21Yosua Roberto AX Las 1Contoh Teks Eksposisi
22Ferdik Basuki X Las 2Contoh Teks Anekdot
23Muhamad Sidik MaulanaX Las 2Contoh Teks Anekdot
24Rafli Fajar TirniawanX Las 2Contoh Teks Anekdot
25Tedy FebriansyahX Las 2Contoh Teks Eksposisi
26Widado Nur AlifX Las 2Contoh Teks Anekdot
27Acep DedenX ILGContoh Teks Anekdot
28Andri IrawanX ILGContoh Teks Anekdot
29Chandra HadiX ILGContoh Teks Anekdot + Eksposisi + UH Anekdot + UH Eksposisi
30Doni KurniawanX ILGContoh Teks Anekdot
31Eko PurnomoX ILGUH Eksposisi
32Himawan Agung PambudiX ILGContoh Teks Anekdot + UH Eksposisi
33Ilham Abdul FajarX ILGUH Eksposisi
34M. Shendy AnazkaX ILGContoh Teks Anekdot + Eksposisi + UH Eksposisi
35Muhamad Bayu ArdianX ILGContoh Teks Anekdot + Eksposisi + UH Eksposisi
36Ricky AndreansyahX ILGUH Eksposisi
37Rizki WahyudiX ILGContoh Teks Anekdot + UH Eksposisi
38WarnoX ILGContoh Anekdot + Eksposisi









Selasa, 04 November 2014

Ulangan Harian II Teks Eksposisi


ULANGAN HARIAN TEKS EKSPOSISI


Untuk mendownload soal ulangan silahkan klik salah satu link berikut:

Senin, 20 Oktober 2014

Remedial UTS Ganjil BIN 2014-2015




Diharapkan membaca dulu cara pengisian remediaL, karena yang bapak lihat banyak yang melampirkan KERTA KOSONG yang ada di google document, jadi di isi dulu data diri di tempat yang disediakan dilanjut mengisi soal yang sudah di perintahkan. Setelah semua terisi dengan baik baru di kirim ke email dengan cara DILAMPIRKAN/ATTACHMENT bukan menulis di bar untuk menulis seperti biasa.


Bagi yang remedial UTS Ganjil Bahasa Indonesia kelas X silahkan kerjakan tugas melalui link ini KLIK DI SINI

Tata cara pengisian remedial:

  1. Silahkan klik tautan yang sudah disediakan.
  2. Nanti anda akan terhubung ke Google Document
  3. Kerjakan tugas sesuai perintah yang ada di tautan itu dan langsung isi melalui dokumen microsoft words yang sudah disediakan.
  4. Kalau masih belum mengerti bagaimana cara mengirim email melalui google document klik DISINI
  5. Setelah  dikerjakan silahkan kirim melalui email yhuda.cahya.pratama@gmail.com
TERAKHIR PENGIRIMAN TUGAS REMEDIAL 1 NOVEMBER 2014

Daftar Nama Yang Sudah Mengikuti Remedial


NoNama Kelas NoNamaKelasNoNamaKelas
1Abdul Rahman SidiqX E 11Agung Dwi NugrohoX E 21Adam Michael SilalahiX E 3
2Ade Sopian
2Ahmad Maulana R
2Akhmad Auliya Fatahilah
3Ardiansyah Waryana
3Akbar Raka Prasetya
3Andi Dian Nugroho
4Chrisna Adjie Pratama
4Angka Maulana Kusumah
4Anindicky Priya F
5Dede Zakaria
5Edel John Regino
5Asep Syaepulloh N
6Doni Iswanto
6Fahri Lesmana
6Diki Prayoga
7Gandhi Baskoro
7Fery Aris Kurniawan
7Edward Kurniawan
8Hafizh Irsyaadillah
8Hotdeon Tua Sitohang
8G. Duwi Apriyanto
9Rian Sobari
9Jeri Firmansyah
9Helmi Maulana
10Agung Bambang Y
10Muhamad Ergyh. H
10Ibnu Umar
11Andi Prasetya
11Muhamad Iqbal
11Indra Purnama
12Budi Saputra
12Ronaldy Faturrahman
12Mahendra Mardiansyah
13Dier Darmanto
13Salsa Devi
13Muhamad Ripal
14Dwi Sigit Purnomo
14Teddy Ramadhan
14Muhammad Revan Reisal Kosasi
15Irsyad Effendi
15Yudistira Bayu Santoso
15Richard Juliano Ndu
16Muhamad Ilyas
16Della Hanifah
16Riza Anshari
17Muhammad Ian Ramadhan
17Geri Septian
17Whilly Ichsan Agung P
18Muhammad Rifky Bayu Pratama
18Hanin Sedi Septian
18Aditya Pratama
19Salman Alfarizi
19Imam Muhrozi
19Ahmad Zaenal Pikri
20Siti Salbiyah
20M. Alwi Nur Pratama
20Dede Rahman
21Viki Masruroh
21Sudiyanto L. Gaol
21Dicky Wahyudi
22Yoga Febriansyah
22Ziandra Indar Pratama
22Putry Febi L
23Herdin
23Adhi Dwi Saputra
23Ryan Pratama
24Taruna Insan C. M
24Aldi Nur Fauzi
24Siti Rosmaidah
25Ahmad Fauzi
25Alpian
25Teguh Prayoga
26Anisa Novianti



26Syafni Nur Rohman
27Eman Sulaeman



27Muhammad Faris Sukaga
28Febri Irawan



28Yuliani Indah Pangesti
29Igna Rendra Duhita






30Muhamad Wahyu Alif
































































































NoNama Kelas NoNamaKelasNoNamaKelas
1Ammar Fais MulyanaX L 11Ega Fikar GumelarX L 21ArdiansyahX ILG
2Asep Darmawan
2Tedy Febriansyah
2Arif Setiono Hanif Abdulloh
3Edy Prasetyo
3Ahmad Sigit Wahyudi
3Azzar Wibowo Noer Mulyono
4Erik Furqon
4Alvian Prasetya
4Ichwan Giana Fauzi
5Ilham Elyanis
5Andi Mochammad Angga G
5Muhamad Maulana
6Jiwo Sutarno Putra
6Anton Saputra
6Yuda Adi Saputro
7Muhamad Edwin
7Ardi Suherman
7Eko Purnomo
8Prayoga Adi nugraha
8Bagus Rizki Fauzi
8Abdul Rahman
9Rizky Wahyudi
9Dandy Pangestiko Aji
9Acep Deden
10Rojayyani Ilyasa
10Eben Ezer Hasibuan
10Andri Irawan
11Aditya Ramlan
11Ferdik Basuki
11Aria Hindraji
12Alfarisy Zianurhaq
12Herdiansyah
12Doni Kurniawan
13Andika Alvyana Pratama
13Jehan Hidayat
13Fadilah Ainul Yakin
14Aprizal Ahmad Gozali
14Lintang Dharma Mulia
14Rahman
15Dede Kurniawan
15Muhamad Ilham
15Reyhan Al Hafiz
16Dendi Dwi Rizki
16Muhamad Rifai
16Wahyu Hidayat
17Dwi Anam Fauzi
17Muhamad Sidik Maulana
17Zulkifli
18Fadli Ramadan
18Rama Jasyrley
18Ade Nurmajid
19Muhamad Ilham Firmansyah
19Sanggraha Tri Syana Putra
19Hendika Prasetyo
20Muhamad Salman Alfarisi
20Dhani Bachtiar
20Muhamad Dwiki Rahman
21Ricky Gunawan
21Muhammad Fachrizal Panjaitan
21Rahmat Abdul Rozaq
22Wahyu Wibisono
22Rico Apriansyah
22Renaldiyansyah
23Mochamad Ibnu Machfudi






24Gusti Pangestu






25Rahmat Hidayat






26Wisnu Juan Pradana






27Bilal Ibnu Salam






28Muhamad Zanuar Arrohman





































Jumat, 03 Juni 2011

Puisi Terakhir Untuk Tami

Karena dirimu, aku tahu, bahwa dicintai itu tidak lebih baik dari mencintai. Bahkan kita belum sempat bertemu. ya? Padahal, antara Musi dan Batanghari sesungguhnya masih satu jiwa. Mungkin karena itu pula, perkenalan kita yang singkat, kata-kata yang serba terbatas, dan senyum yang belum kunjung tertangkap oleh retina itu bukanlah penghalang bagi hati kita untuk saling mendekat. "Bisakah kita kehilangan tanpa pernah memiliki, Di?" "Tergantung sejauh mana pemahaman kita tentang kepemilikan, Mi." "Apa kamu siap memiliki kehilangan?"
"Sebenarnya aku tidak suka udara dingin. Udara dingin pernah membuatku menyerah menempuh pendidikan di ITB. Saat itu hidungku hampir selalu berdarah-darah karena pembuluh darah yang rapuh"

Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu. Aku hanya paham bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini akan hilang. Siap atau tidak siap, kita harus menerimanya. ~
Belakangan ini aku disibukkan dengan pekerjaan di kantor. Pak Yovie mendaulatku untuk membacakan monolog di sebuah acara di Pangalengan. Ya, baru saja aku lulus kuliah dan menjalani hari-hari pengabdianku di sebuah instansi di bawah Kementerian Keuangan.
Sebenarnya aku tidak suka udara dingin. Udara dingin pernah membuatku menyerah menempuh pendidikan di ITB. Saat itu hidungku hampir selalu berdarah-darah karena pembuluh darah yang rapuh—tak kuat udara dingin. Dan besok aku harus pergi ke sana lagi. Dua ketakutan lahir di dadaku. Pertama, karena udara dingin itu. Kedua, karena kenangan-kenangan di masa lalu yang segera menyergapku begitu aku menjejakkan kaki di Bumi Parahyangan itu.
"Hati-hati, Di."
Kau berkata seakan-akan aku akan menghilang selamanya. Memang, di acara itu juga akan diadakan arung jeram. Siapapun yang lengah bisa saja terpental dari perahu, menumbur batu, pingsan, lalu terbawa arus ke kematian. Tetapi, tentu aku tidak ingin berpikir macam-macam. Aku percaya pada standar keamanan yang diterapkan.
Hal kedua, entahlah, aku juga merasa kau mencintaiku. Sementara aku belum siap mencintaimu. Kau sendiri yang paham, betapa luka telah akrab dengan dadaku. Segala cinta yang pernah mampir tiba-tiba berlenyapan satu per satu dengan cara yang kadang tidak bisa kuterima dengan logika. Katakanlah pacar pertamaku yang mata duitan itu, pacar keduaku yang memutuskan menikah dengan orang lain tanpa memberikan alasan yang dapat kuterima, dan terakhir Si Dokter Gigi yang menyerah karena mengetahui pola mutasi di tempat bekerjaku yang baru. Hanya kau, yang berani meyakinkan aku, bahwa bagaimanapun aku, kau akan tetap di sampingku.
***
Kau takut kecoa. Aku takut cacing. Kau suka kucing. Aku suka kepiting. Dahimu bekernyit, "Apa bagusnya kepiting?" "Apa bagusnya kucing?" "Kucing itu hewan yang lucu dan manja." "Kepiting itu jalannya miring." "Semua orang juga tahu kepiting jalannya miring." "Kepiting punya capit." "Semua orang juga tahu kepiting punya capit." "Tapi orang-orang tidak tahu kalau kau malu, mukamu akan seperti kepiting rebus."
Kau diam. Dan pasti memerah. Aku memang belum pernah melihat wajahmu. Tapi aku yakin jenis kulitmu yang putih itu akan mudah memerah kalau terkena panas dan menahan malu. "Di...." "Ya?" "Bisakah kita kehilangan tanpa pernah memiliki?"
Giliran aku yang diam. Kau juga diam di seberang sana. Perlahan, udara dingin di Kemayoran mengepung tulang-tulangku. “Di, aku mencintaimu....” lanjutmu pelan dan langsung menutup telepon setelahnya.
***
Aku sempat beranggapan bahwa perempuan-perempuan yang mencintaiku akan berakhir dengan airmata. Hal ini tentu bukan tidak beralasan. Penyair seperti aku cenderung memilih kesunyian sebagai tempat pelepasan. Katarsis. Dan pada akhirnya, mereka merasa diduakan. Padahal, aku tentu masih mencintainya. Masih mencintai setiap kenangan dan waktu yang pernah kubagi. Aku hanya memiliki duniaku sendiri. Aku hanya mencintai kesunyianku sendiri—selain cintaku pada kecintaan yang dipersembahkan untukku. “Luka adalah lelucon yang datang tiba-tiba.”
Tiba-tiba di perteleponan kita yang kesekian, kau mengatakan hal itu. Sepertinya selama ini aku abai pada perasaanmu. Sepertinya selama ini aku hanya peduli pada kelukaanku sendiri. Dan hari itu aku menyadari bahwa luka bukan hanya milikku. Tetapi juga milikmu. Dan aku begitu ingin belajar kepadamu tentang cara menghadapi kelukaan yang sedemikian akut. “Hidup yang lucu, atau kita yang lucu?” “Atau Tuhan yang lucu?” Aku tertawa. Kau tertawa. Dan kita saling menertawakan diri kita masing-masing. “Kenapa kau mencintaiku, Mi?” “Karena itu kamu....” “Karena aku?” “Jika orang lain, aku tidak akan mungkin mencintai.” “Apa istimewanya aku?” “Apa butuh keistimewaan untuk mencintaimu, Di?” Kau begitu sering membuat aku terdiam dengan pertanyaan dan pernyataanmu. “Kau tidak tahu masa laluku?” “Apa kau tahu masa laluku?” “Tidak.” “Aku tidak peduli dengan segala hal yang pernah kau lakukan di masa lalumu, Di....” “Aku tidak berani mencintaimu, Mi.” “Aku tidak memaksa kamu mencintaiku. Tapi setidaknya biarkan aku mencintaimu, ya?”
***
Mungkin seminggu lagi aku akan pulang ke Palembang. Tetapi, kau bilang seminggu lagi kau akan kembali ke Bandung—sebab telah habis masa liburmu. Jarak antara Palembang—Jambi sama dengan jarak antara Jakarta—Bandung. Tetapi jarak di antara kita sesungguhnya jauh lebih dekat dari sepasang bola mata yang tak kunjung saling bisa membaca.
Setelah buku Kumpulan Cerpen “Dongeng Afrizal” ku terbit, aku memang merencanakan akan melakukan tur ke sejumlah kota untuk bedah buku. Palembang, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, sudah barang tentu menjadi tujuan wajib. Sebentar lagi juga ulang tahunmu, mungkin menemuimu nanti akan menjadi sebuah hadiah kejutan terindah.
Akan tetapi, kesibukan-kesibukan yang makin padat, antara pekerjaanku sebagai CPNS di Ditjen Perbendaharaan yang dimix dengan rutinitasku sebagai penulis (dan penyair) membuat kita jarang sekali berkomunikasi. Terakhir kali kau mengirim SMS untuk mengirimkan bukuku itu ke rumahmu. Aku sempat mencandaimu, ingin ditambahkan apa di buku tersebut—semisal tanda tangan, cap bibir, atau foto-fotoku. Tetapi, SMS yang terlewat malam itu tidak kau balas. Kau pasti sudah tertidur.
Setelah itu, aku tidak tahu kenapa aku lupa menanyakan kabarmu. Dan heran pula diriku mengetahui kau tidak sekali pun megirim atau menanyakan kabarku. Mungkin kau sedang sangat sibuk—sepertiku.
Akhirnya, karena aku lamat-lamat merasakan rindu mengalir di benakku—memikirkanmu, aku mengirim SMS kepadamu:
Tami, apakah kirimanku sudah sampai ke hatimu? Tidak dibalas. Mungkin kau sedang tidak punya pulsa.
***
Beberapa jam kemudian, kau menghubungiku. Namun bukan suaramu. “Nak Pringadi, ya?” Suara seorang perempuan yang lebih tua terdengar bersahaja. “Saya ibunya Tami.” Lanjutnya mengenalkan diri. Mendadak hatiku gelisah. “Iya, Bu, saya Pringadi, Taminya ke mana, Bu?” “Bukunya sudah sampai. Tadi kami baca. Tidak salah Tami mengagumimu dan banyak terinspirasi dari tulisan-tulisan Nak Pringadi.” Aku diam. “Kalau Tami ada salah-salah kata selama berteman dengan Nak Pringadi, mohon maafkan dia ya?” “Tami ke mana, Bu?” aku mengulang pertanyaanku. Dadaku tiba-tiba sesak. “Tami belum sempat membaca bukunya. Tami keburu dipanggil Allah. Beberapa hari lalu, dia masuk rumah sakit. Demam berdarah. Dia....” “Jangan dilanjurkan, Bu!” aku memotongnya. “Ini pasti bercanda, kan?” “Ini kenyataan, Nak.” “Tapi baru beberapa hari lalu kami berkomunikasi, Bu. Kematian tidak mungkin datang secepat ini pada perempuan sebaik dia!”
Aku tidak mendengarkan perkataan selanjutnya dari ibunya Tami. Aku mendadak lemas. Terisak. Dan membiarkan suara di sana berbicara sendiri.
Kubuka laptopku dan kusaksikan profil facebooknya. Segala kenangan tentangnya mendadak bermunculan dan berkelindan di mataku. Sebuah kalimat yang sering ia utarakan itu mengiang-ngiang di benakku.
Bisakah kita kehilangan tanpa pernah memiliki, Di? Andai kita berpisah, pastilah karena kematian telah mengisi rongga dadaku. Sebab di langit mana pun kita berada, bulan masih tetap sama, dan kalender-kalender yang bertanggalan, seperti helai dedaunan--- terlepas begitu saja dari ranting. Perjalanan seringkali tampak asing. Jejak sepatu kaca, yang sengaja kau tinggalkan, kerap tak terbaca. Dan gigil palem, menawarkan kesepian yang lebih buruk dari cuaca.  Aku tahu, aku tahu keberadaanku yang jauh dari sempurna bikin matamu sakit, tetapi hatiku yang tak mengenal rasa sakit mencoba tabah melebihi semua gegabah yang sering kulakukan. Andai kita berpisah, pastilah karena bulan di langit sudah tak sama. Angin malam, gerak bayangan di remang taman, dan sebuah lampu di tengah kolam melengkapi musim; Aku tergeletak. dadaku retak.
Jakarta, 2011 Utami Ramadhanti, Semoga Allah memelukmu di sana.
karya Pringadi Abdi Surya

Kamis, 02 Juni 2011

May Engkaukah itu?

"May, kaukah itu?" tanyaku ketika mendengar ketukan pintu. Tidak ada jawaban. Ketukan pintu masih terdengar. "May," panggilku dengan lembut.
Suara ketukan pintu menghilang.
Sepi.
Suara angin malam samar terdengar dan jam dinding berdetak seirama dengan denyut nadiku. Aku terpaku di sebuah kursi. Mataku lekat menatap pintu. Telingaku berusaha menangkap suara-suara betapapun kecilnya.
"May, benarkah kau?" tanyaku ketika ketukan pintu terdengar lagi.
Aku bangkit, membenahi pakaianku, merapikan rambut dengan tangan. Kurasakan ketegangan di wajahku. Aku berusaha menyunggingkan senyuman termanis yang kumiliki untuk kuberikan kepadanya. Aku ingin menyambut May dengan keramahan luar biasa. Dengan langkah teratur aku menghampiri pintu. Tepat di depan pintu suara ketukan  menghilang. Aku membukanya dengan perlahan, dan tak kujumpai siapa-siapa.
Mataku mengembara di sekeliling ruang depan. Kuperhatikan taman kecil di depan rumah. Sebuah pohon mangga, adakah May bersembunyi di situ? Aku bergegas ke sana, tidak ada apa-apa. Hanya lompatan katak yang mengejutkan.
Aku berdiri di depan pagar besi, memandangi sepanjang jalan. Kendaraan sekali-kali lewat, namun kesepian menjadi raja. Desir angin dingin merayapi tubuhku. Aku tidak memperdulikan. Suara gemerisik daun-daun akasia sepanjang jalan menyanyikan  lagu kesunyian. Hati tergiris. Lampu-lampu teras rumah sepanjang jalan kaku tersamar. Tersihir irama malam.
Entah berapa lama aku berdiri di sana. Kakiku letih. Aku masuk, dan duduk di teras. Duduk di kursi ini, kenangan manis dengan May yang muncul. Ya, sejak kami menempati rumah ini, hampir setiap senja kami menghabiskan waktu untuk bicara apa saja. Kemesraan yang terjalin menambah nyala api cinta. Namun kebiasaan itu menghilang tatkala aku dihantui oleh kesibukan-kesibukan yang tak pernah habisnya. May telah mengingatkan, tapi waktu itu kuanggap hanya romantisme belaka.
"Kau bisa menggunakan waktu senjamu dengan membaca. Itu lebih berguna," demikian komentarku waktu itu.
Beberapa hari May menampakkan wajah cemberutnya. Kuanggap itu hal wajar. Lama-lama ia akan mengerti juga bahwa waktu teramat terbatas untuk melakukan banyak hal. Bila tidak memanfaatkan waktu secara optimal, kita tidak akan bisa menjadi warga terhormat. Kita akan terlindas putaran roda kehidupan yang maha dahsyat. Kesibukan terus mengejarku. Kebiasaan berdialog saat senja hilang dengan sendirinya. Aku tahu, May pasti bisa mencari kegiatan  lain. Kesibukan terus mengejarku. Hari-hari menjadi sangat terbatas. Urusan ke luar kota, urusan ke luar negeri, urusan segala macam, membuatku jadi jarang bertemu dengan May. Ia pernah menggugatnya.
"Ini demi kehidupan kita. Kepercayaan yang mereka berikan kepadaku akan mengantarkan pada hidup sukses. Aku harus menjaga kepercayaan itu dengan baik,"
"Tapi bukan berarti menjadi budak!"
Terus terang aku tersinggung. Harga diriku terasa terhina. Kata-kata dalam kepalaku muntah. May sama sekali tidak menghargaiku. May mengalami kemunduran pemikiran!
Sejak itu May jadi lebih banyak diam. Ia tidak mau banyak berkomentar. Ia selalu menuruti kata-kataku betapapun buruknya permintaanku. Saat itu aku tidak memperdulikan perubahan sikapnya. Urusan perusahaan telah menghantarkan pada lingkaran baru. Lingkaran terseleksi. Orang-orang penting yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, baik dengan hartanya maupun dengan jabatan yang dimilikinya berkumpul dalam lingkaran ini. Pada dialog-dialog tak resmi semua urusan jadi lancar. Dunia asing, dunia baru, banyak aku bersentuhan dengan hal-hal yang belum pernah kualami. Minuman, perempuan, perjudian bercampur baur dengan pembuatan policy.
Dunia gila yang menyenangkan. Seandainya aku tak berada di dalamnya, mungkin akan aku katakan komentar yang lain. Aku di dalamnya. Aku di dalamnya dalam pergulatan. Aku harus menjadi gila! Dengan demikian diriku dapat menyatu.
Kegilaan ini benar-benar aku nikmati sepenuhnya. Aku baru tahu, puncak karier bukanlah dunia kerja melainkan  dunia  main-main. Kita kembali ke dunia anak muda yang selama ini disorot dengan berjuta keburukan. Dunia main-main ini benar-benar permainan. Hari-hari dilalui melalui pesta-pesta.
Pada situasi ini, aku benar-benar melupakan May dalam  waktu-waktuku. Aku merasa telah menunaikan kewajibanku dengan memberinya kemewahan. Sampai suatu saat persengkongkolan tumbang. Pergantian pejabat berlangsung cepat. Hal yang tak terduga sama sekali. Semua tidak siap. Semua sempoyongan. Banyak yang ambruk ke tanah. Hanya beberapa yang bisa bertahan dengan bergerak cepat masuk lingkaran baru. Aku adalah salah satu korban. Perusahaan ambruk dengan cepat. Kekuatan yang ada selama ini hanyalah semu.
"Sejak itu May jadi lebih banyak diam. Ia tidak mau banyak berkomentar. Ia selalu menuruti kata-kataku betapapun buruknya permintaanku."
Perusahaanku sangat tergantung penuh pada lingkaran satu kekuasaan yang telah ambruk. Aku bagaikan kapas. Melayang diterbangkan angin. Aku butuh tempat bersandar. Aku butuh tempat untuk mengungkapkan segenap perasaan. Aku butuh dunia yang dapat menampungku dengan rasa kasih. Bukan dipertemukan dengan permainan kepentingan. Sebagai orang kalah, semua kawan dekat menjauhiku.
Hal yang wajar karena takut kepentingan mereka  terganggu. Bisa saja aku kembali mendekat, tapi dengan cara mengemis? Tak sudi rasanya terperosok pada kekalahan yang lebih dalam. Yang bisa menerima hanya keluarga. Yang bisa menerima hanya May. Tapi tanpa terduga  sama sekali, May pergi. May pergi sebelum aku sempat menyatakan penyesalan, sebelum sempat menceritakan mimpi-mimpiku.
Selama ini aku tidak pernah memperhatikan. Aku merasa dengan memberikan materi  yang berlimpah telah menunaikan  kewajibanku sebagai seorang laki-laki. Oh, May, maafkan aku. Aku merasa sangat berdosa. Aku ingin membangun dunia baru. Aku ingin menebus kesalahan-kesalahan. Aku ingin melangkah bersama May. Tapi May pergi! Penyesalan datang kemudian, tiada lagi berguna. Aku menjadi pesakitan. Aku meratap. Aku berharap. May, segeralah kembali!
* * *
Suara kentongan orang ronda menghentikan bayangan. Aku menengadah. Mencari bulan yang bersembunyi.
Ini hari kesekian. Dan aku tidak akan jemu. Aku akan terus menanti May. May pasti akan kembali. Keyakinan yang tertanam kuat di kepalaku.
Kepalaku terasa berat. Angin malam terasa sangat menusuk. Aku bangkit, lalu masuk ke dalam rumah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 03.15 dini hari. Aku duduk di ruang tamu. Aku masih menanti May.
"May, kaukah itu? Kau kembali, May?" tanyaku mendengar ketukan pintu. Aku bangkit lalu berlari cepat menuju pintu. Tidak ada satu wajahpun kujumpai. Namun hidungku menangkap bau parfum yang tak asing. Parfum yang biasa digunakan May. Mataku mencari. Dan di depan pagar halaman sesosok tubuh berdiri tenang. May!
Meluap perasaanku. Kerinduan yang memuncak. May menerbangkan batinku dengan senyuman manis yang dilemparkannya. Aku berlari menghampirinya. Ia tersenyum lalu menggerakkan badannya dan berjalan menjauhiku.
"May, kembalilah kau!" teriakku.
Ia tak  menghiraukan teriakanku. Terus berjalan menyusuri jalan sunyi. Aku masih melihat bayangannya. Teramat dekat. Aku mengejar. Terus mengejar sambil berteriak memanggili namanya. Ia teramat dekat.Semakin dekat. Namun tak kunjung terkejar.
* * *
"May pasti akan kembali, bukan?" tanyaku pada Amri sahabat dekatku yang mengunjungiku.
Amri diam tak menjawab. Wajahnya menyembunyikan sesuatu.
"May pasti akan kembali, bukan?" tanyaku pada Amri dengan nada yang meninggi.
Amri tetap diam. Matanya tajam menyorot.
"May   pasti  akan  kembali. Bukankah  begitu, Amri?" teriakku sambil berdiri dan mencengkram bajunya. Amri tidak mencoba  bereaksi. Ia tetap diam. aku mengguncang-guncangkan tubuhnya sekeras mungkin.
"Jawablah Amri!"
Amri masih tetap diam.Tenagaku tiba-tiba hilang. Aku terduduk lemas. Amri mendekatiku. Menggenggam tanganku.
"Relakanlah ia pergi. Berdoalah agar ia mendapatkan  ketenangan dalam alamnya yang baru. Melihat kau seperti ini, ia pasti akan sangat gelisah,"
"Tidak! May pasti akan kembali! May pasti akan kembali!  May pasti akan kembali! Bukankah begitu Amri? May pasti akan  kembali!" aku terus berteriak-teriak histeris. Orang-orang berbaju putih berdatangan, mencengkram lenganku, memegang tubuhku. Aku meronta. Aku berteriak sekuat tenaga.
"May pasti akan kembali! Bukankah begitu Amri?" tanyaku pada Amri yang masih menatapku dengan wajah sayu.
* * *
karya Odi Shalahudin

Copet

Sudah beberapa jam aku berada di pasar ini. Berputar-putar memasuki lorong-lorong  sempit yang sesak manusia, jalan-jalan becek, toko-toko atau berdiri pada satu tempat mengawasi orang lalu-lalang.
Dan kini aku berdiri di ujung sebuah lorong. Bersandar pada sebuah tiang yang telah rapuh. Bau tumpukan sampah dari sayuran busuk sangat menyeruak hidup dan menganggu pernafasan. Namun aku tetap bertahan untuk tidak berpindah tempat. Dari hasil pengamatan, inilah tempat yang paling memungkinkan untuk menjalankan sebuah rencana yang bertahta di kepalaku. Tempat yang sangat strategis dengan resiko kegagalan yang kecil untuk mendapatkan mangsa namun penuh resiko bila mangsa bereaksi cepat. Tetapi resiko adalah sesuatu yang tidak asing dalam kamus kehidupan.
Semua gerak langkah manusia selalu mengandung resiko, mengandung dua unsur.Dan hidup akan sangat bergairah bila kita berani untuk menanggung resiko apapun dari hasil keputusan.  Keputusan  telah kutetapkan, maka hati harus mantap dan penuh keyakinan.  Meskipun aku sadar, keputusanku adalah sesuatu yang memalukan.  
Mataku liar mengawasi dengan seksama. Beberapa kali aku mengintai, membuat perhitungan-perhitungan sebagai pertimbangan untuk siap bergerak. Beberapa calon yang kurasa layak menjadi mangsa telah lewat begitu saja karena situasi yang belum mengijinkan. Atau karena perhitunganku yang terlalu dalam? Ah.
Kali ini mataku mengikuti seorang ibu bertubuh gemuk yang kedua tangannya sibuk membawa belanjaan. Jalannya sangat lambat, tampak lucu. Aku berharap ia akan memasuki lorong  itu. Desakan manusia menjadi celah untuk mendapatkan kesempatan. Dan darahku berdesir ketika dugaanku tepat. Ibu gemuk itu  memasuki  lorong. Aku cepat bergegas, membuang puntung rokok yang terkapit di jari.
Ibu gemuk itu ada sekitar dua meter di depanku. Di belakangnya seorang berambut gondrong, lalu bapak-bapak, seorang gadis, ibu tua, dan beberapa orang lagi.
Lorong itu sangat sempit tetapi panjang. Sesungguhnya lorong itu bisa dimasuki empat orang bila berjalan sejajar. Tapi kios-kios di sepanjang lorong itu telah  menggunakan bagian jalan sehingga hanya cukup untuk dua orang dengan sisa sedikit celah.
Aku  berusaha  keras untuk melewati orang-orang di depanku. Satu-dua berhasil dengan cepat. Tetapi seringkali harus menunggu saat yang tepat. Ketika orang di depanku berhenti di sebuah kios, maka badannya menghadap ke kios, berarti ada celah yang bisa dimasuki. Perlahan tetapi pasti. Namun nasib sial juga terjadi. Ketika bergerak cepat,  tubuhku terhuyung dan tanganku menyenggol barang dagangan. Pemilik kios memaki-maki.
"Dasar goblok! Sudah tahu jalan sempit!"
"Maaf, Pak," kataku sambil memunguti barang dagangan yang terjatuh. Otomatis orang-orang di belakangku jalannya terhambat. Mereka menggerutu. Aku tak menghiraukannya. Di pikiranku hanya si Ibu gemuk.
Tinggal dua orang lagi yang ada di depanku bila aku ingin berjalan tepat di belakang Ibu gemuk. Seorang pemuda berambut gondrong dan seorang bapak.
Ujung lorong tinggal beberapa meter lagi. Aku harus cepat. Kira-kira satu meter sebelum ujung aku sudah harus menjalankan rencanaku. Gesit sedikit sudah sampai jalan raya, dan terbuka beragam jalan untuk meloloskan diri. Aku bernafas lega ketika bisa melewati bapak itu. Tinggal pemuda gondrong.
Pikiranku mengembara, menghitung-hitung. Ah, sebaiknya aku tetap di belakang si gondrong. Dia bisa dimanfaatkan. Kegondrongannya adalah perwujudan dunia kasar, begitu  sebagian  besar pikiran orang-orang. Harus ada kesempatan untuk membuat si gondrong terjatuh dan menabrak si Ibu gemuk itu untuk selanjutnya kumanfaatkan  tanganku  meraih sasaran. Nafsuku semakin  besar manakala  kulihat dompet kulit ibu gemuk tersembul sedikit. Ah, ayo cepat berikan aku kesempatan.
Entah  siapa yang menggerakkan. Dari arah depan seorang kuli tiba-tiba masuk. Ia dengan seenaknya menyerobot orang-orang di depannya. Barang yang diangkutnya sangat besar sehingga banyak orang  mengalah  meskipun dengan rasa kesal. Makianpun  meluncur dengan deras.
Beberapa langkah lagi ia hampir dekat dengan Ibu gemuk. Ujung lorong semakin dekat. Ketika ia berpapasan dengan Ibu gemuk. si Ibu gemuk harus memiringkan tubuhnya karena jalan tidak cukup. Dengan bawaan di kedua tangan, ia tampak kerepotan.
Otakku berjalan. Dengan teramat rapih seolah-olah tak disengaja aku ayunkan kakiku menjegal si rambut gondrong hingga keseimbangan tubuhnya tak sempurna. Ia terhuyung dan hampir jatuh. Tubuhnya membentur tubuh Ibu gemuk itu. Si Ibu gemuk  berteriak-teriak marah. Begitu pula si kuli menunjukkan kekuasaannya dengan makian kasar. Kesempatan itu kupergunakan sebaik-baiknya. Perhatian mereka pada keributan, tanganku pada dompet kulit. Dan  sempurnalah sudah rencanaku. Keributan belum berakhir, aku tidak perduli.
Si Kuli sudah melewatiku. Aku cepat melewati si gondrong dan Ibu gemuk yang beradu mulut.
Aku  bersorak. Aku telah mencapai ujung lorong. Matahari di atas bersinar kuat. Kendaraan-kendaraan lalu-lalang tak  habis-habisnya mengepulkan asap mengotori udara. Samar-samar kudengar teriakan seorang perempuan, "Copet! Copeeet!"
Dadaku bergetar, aku segera menyebrang jalan. Di sana aku leluasa memperhatikan lorong yang baru kulalui. Orang-orang berteriak-teriak, seorang pemuda gondrong menjadi permainan perlakuan kasar masa. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Sampai jatuh tersungkur di depan lorong. Tak berdaya. Tapi pukulan dan tendangan berpuluh-puluh orang masih saja tak  berhenti. Mereka lampiaskan kekesalan dengan kekerasan. Aku cepat bergegas.
Kalau kukatakan bahwa ini adalah hal yang pertama kali kulakukan, percayakah kau? Sungguh, ini adalah pengalaman pertama. Rencana berhasil dengan sangat gemilang. Asal kau tahu saja, keputusan ini berkat kemenangan satu pihak pada pertarungan diri. Hasilnya? Sekitar Rp 43.000 ditambah beberapa uang ratusan. 
Ah, setidaknya ini dapat membayar hutang di warung makan Mbak Inah yang setiap hari terus mendesak sampai membuat tagihan dengan tulisan besar yang ditempel di dalam warungnya sebagai salah satu cara menekan para penghutang yang lama tidak membayar. Aku mencoba memprotes, Mbak Inah dengan tenangnya mengatakan bahwa tulisan itu akan dicopot kalau hutang sudah terbayar. Setidaknya separonya. Ya, sudah sekitar  tiga puluhan ribu hutangku di sana. Ini lantaran bulan yang lalu wesel dari orang tua tidak kuterima. Memasuki bulan baru juga tiada kunjung datang. Itulah yang kubingungkan beberapa hari ini. Membuatku menggelepar. Perut harus terus diisi, sedang diri sudah  masuk blacklist. Untuk menumpang teman terus-menerus tidak enak pula. Bisa-bisa  malah  mendapat cap benalu. Hutang di warung lain? Sulit, belum punya hubungan. Ah, begitulah. Itulah yang mendorong untuk melakukan perbuatan yang baru saja aku lakukan.
Aku memasuki sebuah warung. Memesan es teh, menyambar pisang goreng. Setelah pisang goreng habis, aku memesan sepiring nasi. Makanku lahap sekali. Usai makan, kunyalakan sebatang rokok kretek, lalu asyik mempermainkan asapnya.
Pandangan mataku keluar warung. Kulihat Ibu gemuk berjalan tertatih-tatih dengan membawa dua belanjaan di tangannya. Hatiku berdesir. Ibu gemuk tadi! Tiba-tiba saja aku begitu gelisah. Terbayang kembali pemuda rambut gondrong yang menjadi kambing hitam terkapar dengan darah mengucur, kubayangkan bila si Ibu gemuk itu adalah seorang penjual nasi yang bersusah payah menempuh hidup untuk menambah penghasilan keluarga. Ah, kalau suaminya sudah tidak ada dan ia seorang janda? Ah, kalau anak banyak. Delapan misalnya. Lalu,aku? Tiba-tiba pertarungan hebat terjadi lagi di dalam diriku. Aku tidak mampu menguasai diri. Hanya jadi pendengar dan penonton.
Aku berdiri. Membayar dengan uang hasil jarahan. Lalu berdiri di pinggir jalan. Mataku menanti Ibu gemuk mendekat. Aku harus mengembalikan. Aku akan jujur bila isi dompet-nya telah berkurang seribu lima ratus lima puluh rupiah untuk  isi  perut. Dan kuharapkan ia mau menerima maafku.
Semakin dekat  dan semakin dekat. Aku mantapkan  hati. Sesampai di depanku, kupanggil ia. Tubuhnya telah penuh keringat, wajahnya tampak lelah dan matanya tampak sayu. Ia tampak heran. Kukeluarkan dompet Ibu gemuk itu dari saku celanaku. Wajahnya berubah.
"Maaf, Bu, saya pencopetnya, saya...."
Tidak sempat kuselesaikan kalimatku, Ibu  gemuk itu telah menjerit lantang, "Copeeeet.......!" sambil menjatuhkan kedua barang bawaannya.
Kulihat orang-orang berhamburan dari berbagai penjuru bagaikan api yang siap membakar. Pikiran normalku adalah tidak ingin menjadi debu. Aku berlari menyelamatkan diri.
Api berkobar, membakar wajahku, membakar punggungku, membakar perutku, membakar kakiku, dan aku tetap berlari.
Karya Odi Shalahudin

Namaku Buruh

amaku Buruh. Benar, bukan mengada-ada. Atau sok cari sensasi. Lihat saja KTP-ku, jelas tertera Buruh sebagai namaku. Nama lengkap. Singkat. Masih kurang percaya? Aku bisa meng-copy-kan akta kelahiran, raport dan ijazah sekolah. Masih kurang, aku bisa bawakan seluruh identitas yang kupunya. Semuanya konsisten. Buruh. Jelas tertera di situ. Di kolom isian nama.
Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Bapakku ataukah ibuku yang memberi usulan bagi namaku. Atau nenek-kakekku? Entahlah. Aku telah ditinggal pergi mereka semua. Ya, saat aku masih bayi. Saat terjadi bencana. Kebakaran. Menghanguskan rumah-rumah bedeng. Ratusan jumlahnya. Banyak orang menjadi korban. Kehilangan harta benda. Juga nyawa puluhan orang. Termasuk orangtuaku, kakek dan nenekku.
Konon aku terselamatkan. Konon pula di dekat sosokku, ada beberapa surat yang terkait dengan kelahiranku. Akta kelahiran. Mungkin saat itu bapak atau ibuku tengah membaca ulang. Atau, ah, entahlah. Tak bisa kureka. Walaupun aku ada di sana. Tentunya sebagai bayi aku tidak memiliki kemampuan untuk mengingatnya. Akta kelahiran itulah yang menyebabkan namaku menjadi tidak hilang. Tetap melekat hingga aku dewasa. Sampai sekarang ini.
Aku tinggal di sebuah panti asuhan. Diselamatkan hidupku. Lantaran tidak ada satu orangpun yang mengetahui apakah aku masih memiliki keluarga. Jadi, pilihan yang tepat. Menyelamatkan. Menempatkan pada panti asuhan. Sejak bayi. Hingga dewasa. Hidup dalam komunitas anak-anak yang hampir sama nasibnya dengan diriku. Kehilangan kedua orangtuanya. Hanya berbeda-beda alasan dan peristiwanya.
Sekolahku lancar-lancar saja. Dari SD hingga SMP kurasa. Saat SMA, aku mulai tertarik dengan diskusi-diskusi bersama beberapa teman. Bukan diskusi tentang pelajaran. Tapi diskusi tentang pemberitaan mengenai kehidupan nyata. Modal kami hanya menonton televisi, membaca koran, atau menguping pembicaraan orang dewasa. Lantas, kami sering berdebat. Bisa sangat keras. Tapi setelah itu kami bisa terbahak-bahak dan saling berangkulan. Suatu hari iseng. Kami bersepakat memprotes keputusan dari pihak sekolah yang meminta sumbangan wajib kepada para siswa, bagi perbaikan gedung. Kami pun meniru seperti para mahasiwa yang sering kami lihat di jalan-jalan. Kami membuat poster-poster dari kardus. Menggalang kawan-kawan untuk ikutan aksi demonstrasi. Beberapa kawan berorasi. Akupun ikut. Wah, enak kalau orasi. Kita berteriak apapun, langsung saja disambut gempita. Pokoknya rame.
Tapi bermula dari aksi itulah, persoalan nama menjadi persoalan bagi hidupku. Sebelumnya orang hanya tertawa-tawa saja bila berkenalan denganku. Kemudian mengernyitkan kening ketika kuyakinkan. Benar, Namaku Buruh. Nah, pada aksi ini, pihak sekolah melapor ke kepolisian. Tidak beberapa lama, puluhan polisi sudah meminta kami untuk membubarkan diri. ”Atas nama undang-undang!” teriak seorang polisi melalui megaphone-nya, ”Kalian harus segera membubarkan diri,”
"Konon aku terselamatkan. Konon pula di dekat sosokku, ada beberapa surat yang terkait dengan kelahiranku. Akta kelahiran. Mungkin saat itu bapak atau ibuku tengah membaca ulang"
Seorang kawan, malah lantang berteriak, menyemangati kami untuk tetap bertahan. Kami diminta bergandengan tangan. Menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Benar-benar lagu perjuangan seperti Hallo-Hallo Bandung, Maju Tak Gentar, juga lagu Indonesia Raya. Kami merasa tersemangati. Merasa gagah dan bangga. Bisa seperti para mahasiswa.
Polisi merangsek, membubarkan paksa. Massa kocar-kacir. Kawan-kawan berlarian. Menyelamatkan diri. Anak-anak perempuan menjerit-jerit. Poster-poster dirobek oleh para petugas kepolisian. Beberapa orang ditangkap, termasuk diriku.
”Nama?” ”Buruh, Pak,” ”Nama? ”Buruh, Pak. ”Nama???!!!” ”buruh, Pak!” Meja digebrak. Membuatku tersentak. ”Jangan main-main. Nama kamu?!” ”Bu..ruh...” terbata, lirih. Sekali lagi meja digebrak dengan keras. Menimbulkan perhatian dari orang-orang yang ada di sana. Beberapa polisi mendekat ke arah kami. “Hm... pasti ada yang menghasut dirimu. Jangan suka-suka mengaku sebagai buruh. Kamu itu anak SMA. Jangan mau dicuci otak. Ayo, siapa mahasiswa yang meracuni kamu? Sebutkan saja namanya. Kamu tahu, buruh itu komunis? Kamu mau dianggap komunis?” seorang polisi dengan nada lebih ramah dibandingkan polisi yang tadi menginterogasi diriku. “Tapi, Pak. Nama saya memang buruh,”  “Ah, dasar kamu anak kecil! Tidak mau mendengar omongan! Syukur kamu Cuma dinasihati” polisi lainnya. ”tapi... benar...” ”Diam!!!” Meja digebrak lagi. ”Kamu tahu artinya komunis? Komunis itu tidak boleh hidup di sini!” “Nama?” Aku diam. “Nama?” Tetap diam. Menunduk. Bingung. Keringatan. Berdebar-debar. Terteror ”Nama?!” ”Bu..ruh.. Pak!” Tangan hendak melayang menggebrak meja, tapi tercegah seorang polisi lainnya. ”Sebentar. Mana kartu pelajarmu?” Aku segera mengeluarkan kartu pelajar dari dompet. Polisi itu memandang dengan seksama. Berbisik-bisik dengan polisi yang lainnya. Beberapa orang berusaha menahan tawa. Tapi lepas juga. ”Oh, namamu memang buruh. Ya, sudah. Jadi kamu bukan komunis,” Aku diinterogasi. Ditanyakan siapa yang merencanakan aksi demonstrasi. Dinasehati. Panjang lebar. Dari mulai ketahanan negara. Keamanan. Komunis. Teroris. Banyak sekali. Sampai tak muat otakku untuk menerimanya.
Aku bersama kawan-kawan dikeluarkan setelah pihak sekolah menjemput kami. Tapi kamu harus apel seminggu dua kali.
Kasus ini terdengar sampai ke telinga pengelola Panti. Aku beruntung, tidak dimarahi. Dia malah tertawa terbahak mendengar kisahku. ”Tidak apa-apa. Anak muda, memang harus memiliki pengalaman yang herois,” komentarnya. ”Bapak dulu juga pernah jadi aktivis,” Ah, legalah diriku.
Selepas SMA. Aku tahu tidak mungkin tergantung terus menerus kepada Panti. Aku tahu, kondisi keuangan mereka juga terbatas. Maka aku putuskan setelah lulus SMA mencari kerja. Keberuntungan memang tengah menyelimuti diriku. Tidak menunggu lama, aku diterima bekerja. Bekerja di sebuah pabrik. Di kota ini juga. Menjadi buruh.
Jadi namaku Buruh. Di kolom pekerjaan juga tertulis Buruh. Aku paham tentang hidupku. Aku tahu nasibku sebagai buruh tidaklah baik. Terus bergerak bersama mesin-mesin dalam nada dan irama yang statis. Bersama penghasilan yang jauh dari kebutuhan hidup. Aku paham, bila para buruh bersatu meneriakkan jeritan hatinya. Menyuarakan kepentingannya demi kehidupan yang lebih baik. Dan itu, bukan komunis. Sungguh. Aku berani meyakinkan itu. Ini soal manusia. Soal kemanusiaan.
karya Odi Shalahudin