Kamis, 02 Juni 2011

Copet

Sudah beberapa jam aku berada di pasar ini. Berputar-putar memasuki lorong-lorong  sempit yang sesak manusia, jalan-jalan becek, toko-toko atau berdiri pada satu tempat mengawasi orang lalu-lalang.
Dan kini aku berdiri di ujung sebuah lorong. Bersandar pada sebuah tiang yang telah rapuh. Bau tumpukan sampah dari sayuran busuk sangat menyeruak hidup dan menganggu pernafasan. Namun aku tetap bertahan untuk tidak berpindah tempat. Dari hasil pengamatan, inilah tempat yang paling memungkinkan untuk menjalankan sebuah rencana yang bertahta di kepalaku. Tempat yang sangat strategis dengan resiko kegagalan yang kecil untuk mendapatkan mangsa namun penuh resiko bila mangsa bereaksi cepat. Tetapi resiko adalah sesuatu yang tidak asing dalam kamus kehidupan.
Semua gerak langkah manusia selalu mengandung resiko, mengandung dua unsur.Dan hidup akan sangat bergairah bila kita berani untuk menanggung resiko apapun dari hasil keputusan.  Keputusan  telah kutetapkan, maka hati harus mantap dan penuh keyakinan.  Meskipun aku sadar, keputusanku adalah sesuatu yang memalukan.  
Mataku liar mengawasi dengan seksama. Beberapa kali aku mengintai, membuat perhitungan-perhitungan sebagai pertimbangan untuk siap bergerak. Beberapa calon yang kurasa layak menjadi mangsa telah lewat begitu saja karena situasi yang belum mengijinkan. Atau karena perhitunganku yang terlalu dalam? Ah.
Kali ini mataku mengikuti seorang ibu bertubuh gemuk yang kedua tangannya sibuk membawa belanjaan. Jalannya sangat lambat, tampak lucu. Aku berharap ia akan memasuki lorong  itu. Desakan manusia menjadi celah untuk mendapatkan kesempatan. Dan darahku berdesir ketika dugaanku tepat. Ibu gemuk itu  memasuki  lorong. Aku cepat bergegas, membuang puntung rokok yang terkapit di jari.
Ibu gemuk itu ada sekitar dua meter di depanku. Di belakangnya seorang berambut gondrong, lalu bapak-bapak, seorang gadis, ibu tua, dan beberapa orang lagi.
Lorong itu sangat sempit tetapi panjang. Sesungguhnya lorong itu bisa dimasuki empat orang bila berjalan sejajar. Tapi kios-kios di sepanjang lorong itu telah  menggunakan bagian jalan sehingga hanya cukup untuk dua orang dengan sisa sedikit celah.
Aku  berusaha  keras untuk melewati orang-orang di depanku. Satu-dua berhasil dengan cepat. Tetapi seringkali harus menunggu saat yang tepat. Ketika orang di depanku berhenti di sebuah kios, maka badannya menghadap ke kios, berarti ada celah yang bisa dimasuki. Perlahan tetapi pasti. Namun nasib sial juga terjadi. Ketika bergerak cepat,  tubuhku terhuyung dan tanganku menyenggol barang dagangan. Pemilik kios memaki-maki.
"Dasar goblok! Sudah tahu jalan sempit!"
"Maaf, Pak," kataku sambil memunguti barang dagangan yang terjatuh. Otomatis orang-orang di belakangku jalannya terhambat. Mereka menggerutu. Aku tak menghiraukannya. Di pikiranku hanya si Ibu gemuk.
Tinggal dua orang lagi yang ada di depanku bila aku ingin berjalan tepat di belakang Ibu gemuk. Seorang pemuda berambut gondrong dan seorang bapak.
Ujung lorong tinggal beberapa meter lagi. Aku harus cepat. Kira-kira satu meter sebelum ujung aku sudah harus menjalankan rencanaku. Gesit sedikit sudah sampai jalan raya, dan terbuka beragam jalan untuk meloloskan diri. Aku bernafas lega ketika bisa melewati bapak itu. Tinggal pemuda gondrong.
Pikiranku mengembara, menghitung-hitung. Ah, sebaiknya aku tetap di belakang si gondrong. Dia bisa dimanfaatkan. Kegondrongannya adalah perwujudan dunia kasar, begitu  sebagian  besar pikiran orang-orang. Harus ada kesempatan untuk membuat si gondrong terjatuh dan menabrak si Ibu gemuk itu untuk selanjutnya kumanfaatkan  tanganku  meraih sasaran. Nafsuku semakin  besar manakala  kulihat dompet kulit ibu gemuk tersembul sedikit. Ah, ayo cepat berikan aku kesempatan.
Entah  siapa yang menggerakkan. Dari arah depan seorang kuli tiba-tiba masuk. Ia dengan seenaknya menyerobot orang-orang di depannya. Barang yang diangkutnya sangat besar sehingga banyak orang  mengalah  meskipun dengan rasa kesal. Makianpun  meluncur dengan deras.
Beberapa langkah lagi ia hampir dekat dengan Ibu gemuk. Ujung lorong semakin dekat. Ketika ia berpapasan dengan Ibu gemuk. si Ibu gemuk harus memiringkan tubuhnya karena jalan tidak cukup. Dengan bawaan di kedua tangan, ia tampak kerepotan.
Otakku berjalan. Dengan teramat rapih seolah-olah tak disengaja aku ayunkan kakiku menjegal si rambut gondrong hingga keseimbangan tubuhnya tak sempurna. Ia terhuyung dan hampir jatuh. Tubuhnya membentur tubuh Ibu gemuk itu. Si Ibu gemuk  berteriak-teriak marah. Begitu pula si kuli menunjukkan kekuasaannya dengan makian kasar. Kesempatan itu kupergunakan sebaik-baiknya. Perhatian mereka pada keributan, tanganku pada dompet kulit. Dan  sempurnalah sudah rencanaku. Keributan belum berakhir, aku tidak perduli.
Si Kuli sudah melewatiku. Aku cepat melewati si gondrong dan Ibu gemuk yang beradu mulut.
Aku  bersorak. Aku telah mencapai ujung lorong. Matahari di atas bersinar kuat. Kendaraan-kendaraan lalu-lalang tak  habis-habisnya mengepulkan asap mengotori udara. Samar-samar kudengar teriakan seorang perempuan, "Copet! Copeeet!"
Dadaku bergetar, aku segera menyebrang jalan. Di sana aku leluasa memperhatikan lorong yang baru kulalui. Orang-orang berteriak-teriak, seorang pemuda gondrong menjadi permainan perlakuan kasar masa. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Sampai jatuh tersungkur di depan lorong. Tak berdaya. Tapi pukulan dan tendangan berpuluh-puluh orang masih saja tak  berhenti. Mereka lampiaskan kekesalan dengan kekerasan. Aku cepat bergegas.
Kalau kukatakan bahwa ini adalah hal yang pertama kali kulakukan, percayakah kau? Sungguh, ini adalah pengalaman pertama. Rencana berhasil dengan sangat gemilang. Asal kau tahu saja, keputusan ini berkat kemenangan satu pihak pada pertarungan diri. Hasilnya? Sekitar Rp 43.000 ditambah beberapa uang ratusan. 
Ah, setidaknya ini dapat membayar hutang di warung makan Mbak Inah yang setiap hari terus mendesak sampai membuat tagihan dengan tulisan besar yang ditempel di dalam warungnya sebagai salah satu cara menekan para penghutang yang lama tidak membayar. Aku mencoba memprotes, Mbak Inah dengan tenangnya mengatakan bahwa tulisan itu akan dicopot kalau hutang sudah terbayar. Setidaknya separonya. Ya, sudah sekitar  tiga puluhan ribu hutangku di sana. Ini lantaran bulan yang lalu wesel dari orang tua tidak kuterima. Memasuki bulan baru juga tiada kunjung datang. Itulah yang kubingungkan beberapa hari ini. Membuatku menggelepar. Perut harus terus diisi, sedang diri sudah  masuk blacklist. Untuk menumpang teman terus-menerus tidak enak pula. Bisa-bisa  malah  mendapat cap benalu. Hutang di warung lain? Sulit, belum punya hubungan. Ah, begitulah. Itulah yang mendorong untuk melakukan perbuatan yang baru saja aku lakukan.
Aku memasuki sebuah warung. Memesan es teh, menyambar pisang goreng. Setelah pisang goreng habis, aku memesan sepiring nasi. Makanku lahap sekali. Usai makan, kunyalakan sebatang rokok kretek, lalu asyik mempermainkan asapnya.
Pandangan mataku keluar warung. Kulihat Ibu gemuk berjalan tertatih-tatih dengan membawa dua belanjaan di tangannya. Hatiku berdesir. Ibu gemuk tadi! Tiba-tiba saja aku begitu gelisah. Terbayang kembali pemuda rambut gondrong yang menjadi kambing hitam terkapar dengan darah mengucur, kubayangkan bila si Ibu gemuk itu adalah seorang penjual nasi yang bersusah payah menempuh hidup untuk menambah penghasilan keluarga. Ah, kalau suaminya sudah tidak ada dan ia seorang janda? Ah, kalau anak banyak. Delapan misalnya. Lalu,aku? Tiba-tiba pertarungan hebat terjadi lagi di dalam diriku. Aku tidak mampu menguasai diri. Hanya jadi pendengar dan penonton.
Aku berdiri. Membayar dengan uang hasil jarahan. Lalu berdiri di pinggir jalan. Mataku menanti Ibu gemuk mendekat. Aku harus mengembalikan. Aku akan jujur bila isi dompet-nya telah berkurang seribu lima ratus lima puluh rupiah untuk  isi  perut. Dan kuharapkan ia mau menerima maafku.
Semakin dekat  dan semakin dekat. Aku mantapkan  hati. Sesampai di depanku, kupanggil ia. Tubuhnya telah penuh keringat, wajahnya tampak lelah dan matanya tampak sayu. Ia tampak heran. Kukeluarkan dompet Ibu gemuk itu dari saku celanaku. Wajahnya berubah.
"Maaf, Bu, saya pencopetnya, saya...."
Tidak sempat kuselesaikan kalimatku, Ibu  gemuk itu telah menjerit lantang, "Copeeeet.......!" sambil menjatuhkan kedua barang bawaannya.
Kulihat orang-orang berhamburan dari berbagai penjuru bagaikan api yang siap membakar. Pikiran normalku adalah tidak ingin menjadi debu. Aku berlari menyelamatkan diri.
Api berkobar, membakar wajahku, membakar punggungku, membakar perutku, membakar kakiku, dan aku tetap berlari.
Karya Odi Shalahudin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar