Jumat, 03 Juni 2011

Puisi Terakhir Untuk Tami

Karena dirimu, aku tahu, bahwa dicintai itu tidak lebih baik dari mencintai. Bahkan kita belum sempat bertemu. ya? Padahal, antara Musi dan Batanghari sesungguhnya masih satu jiwa. Mungkin karena itu pula, perkenalan kita yang singkat, kata-kata yang serba terbatas, dan senyum yang belum kunjung tertangkap oleh retina itu bukanlah penghalang bagi hati kita untuk saling mendekat. "Bisakah kita kehilangan tanpa pernah memiliki, Di?" "Tergantung sejauh mana pemahaman kita tentang kepemilikan, Mi." "Apa kamu siap memiliki kehilangan?"
"Sebenarnya aku tidak suka udara dingin. Udara dingin pernah membuatku menyerah menempuh pendidikan di ITB. Saat itu hidungku hampir selalu berdarah-darah karena pembuluh darah yang rapuh"

Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu. Aku hanya paham bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini akan hilang. Siap atau tidak siap, kita harus menerimanya. ~
Belakangan ini aku disibukkan dengan pekerjaan di kantor. Pak Yovie mendaulatku untuk membacakan monolog di sebuah acara di Pangalengan. Ya, baru saja aku lulus kuliah dan menjalani hari-hari pengabdianku di sebuah instansi di bawah Kementerian Keuangan.
Sebenarnya aku tidak suka udara dingin. Udara dingin pernah membuatku menyerah menempuh pendidikan di ITB. Saat itu hidungku hampir selalu berdarah-darah karena pembuluh darah yang rapuh—tak kuat udara dingin. Dan besok aku harus pergi ke sana lagi. Dua ketakutan lahir di dadaku. Pertama, karena udara dingin itu. Kedua, karena kenangan-kenangan di masa lalu yang segera menyergapku begitu aku menjejakkan kaki di Bumi Parahyangan itu.
"Hati-hati, Di."
Kau berkata seakan-akan aku akan menghilang selamanya. Memang, di acara itu juga akan diadakan arung jeram. Siapapun yang lengah bisa saja terpental dari perahu, menumbur batu, pingsan, lalu terbawa arus ke kematian. Tetapi, tentu aku tidak ingin berpikir macam-macam. Aku percaya pada standar keamanan yang diterapkan.
Hal kedua, entahlah, aku juga merasa kau mencintaiku. Sementara aku belum siap mencintaimu. Kau sendiri yang paham, betapa luka telah akrab dengan dadaku. Segala cinta yang pernah mampir tiba-tiba berlenyapan satu per satu dengan cara yang kadang tidak bisa kuterima dengan logika. Katakanlah pacar pertamaku yang mata duitan itu, pacar keduaku yang memutuskan menikah dengan orang lain tanpa memberikan alasan yang dapat kuterima, dan terakhir Si Dokter Gigi yang menyerah karena mengetahui pola mutasi di tempat bekerjaku yang baru. Hanya kau, yang berani meyakinkan aku, bahwa bagaimanapun aku, kau akan tetap di sampingku.
***
Kau takut kecoa. Aku takut cacing. Kau suka kucing. Aku suka kepiting. Dahimu bekernyit, "Apa bagusnya kepiting?" "Apa bagusnya kucing?" "Kucing itu hewan yang lucu dan manja." "Kepiting itu jalannya miring." "Semua orang juga tahu kepiting jalannya miring." "Kepiting punya capit." "Semua orang juga tahu kepiting punya capit." "Tapi orang-orang tidak tahu kalau kau malu, mukamu akan seperti kepiting rebus."
Kau diam. Dan pasti memerah. Aku memang belum pernah melihat wajahmu. Tapi aku yakin jenis kulitmu yang putih itu akan mudah memerah kalau terkena panas dan menahan malu. "Di...." "Ya?" "Bisakah kita kehilangan tanpa pernah memiliki?"
Giliran aku yang diam. Kau juga diam di seberang sana. Perlahan, udara dingin di Kemayoran mengepung tulang-tulangku. “Di, aku mencintaimu....” lanjutmu pelan dan langsung menutup telepon setelahnya.
***
Aku sempat beranggapan bahwa perempuan-perempuan yang mencintaiku akan berakhir dengan airmata. Hal ini tentu bukan tidak beralasan. Penyair seperti aku cenderung memilih kesunyian sebagai tempat pelepasan. Katarsis. Dan pada akhirnya, mereka merasa diduakan. Padahal, aku tentu masih mencintainya. Masih mencintai setiap kenangan dan waktu yang pernah kubagi. Aku hanya memiliki duniaku sendiri. Aku hanya mencintai kesunyianku sendiri—selain cintaku pada kecintaan yang dipersembahkan untukku. “Luka adalah lelucon yang datang tiba-tiba.”
Tiba-tiba di perteleponan kita yang kesekian, kau mengatakan hal itu. Sepertinya selama ini aku abai pada perasaanmu. Sepertinya selama ini aku hanya peduli pada kelukaanku sendiri. Dan hari itu aku menyadari bahwa luka bukan hanya milikku. Tetapi juga milikmu. Dan aku begitu ingin belajar kepadamu tentang cara menghadapi kelukaan yang sedemikian akut. “Hidup yang lucu, atau kita yang lucu?” “Atau Tuhan yang lucu?” Aku tertawa. Kau tertawa. Dan kita saling menertawakan diri kita masing-masing. “Kenapa kau mencintaiku, Mi?” “Karena itu kamu....” “Karena aku?” “Jika orang lain, aku tidak akan mungkin mencintai.” “Apa istimewanya aku?” “Apa butuh keistimewaan untuk mencintaimu, Di?” Kau begitu sering membuat aku terdiam dengan pertanyaan dan pernyataanmu. “Kau tidak tahu masa laluku?” “Apa kau tahu masa laluku?” “Tidak.” “Aku tidak peduli dengan segala hal yang pernah kau lakukan di masa lalumu, Di....” “Aku tidak berani mencintaimu, Mi.” “Aku tidak memaksa kamu mencintaiku. Tapi setidaknya biarkan aku mencintaimu, ya?”
***
Mungkin seminggu lagi aku akan pulang ke Palembang. Tetapi, kau bilang seminggu lagi kau akan kembali ke Bandung—sebab telah habis masa liburmu. Jarak antara Palembang—Jambi sama dengan jarak antara Jakarta—Bandung. Tetapi jarak di antara kita sesungguhnya jauh lebih dekat dari sepasang bola mata yang tak kunjung saling bisa membaca.
Setelah buku Kumpulan Cerpen “Dongeng Afrizal” ku terbit, aku memang merencanakan akan melakukan tur ke sejumlah kota untuk bedah buku. Palembang, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, sudah barang tentu menjadi tujuan wajib. Sebentar lagi juga ulang tahunmu, mungkin menemuimu nanti akan menjadi sebuah hadiah kejutan terindah.
Akan tetapi, kesibukan-kesibukan yang makin padat, antara pekerjaanku sebagai CPNS di Ditjen Perbendaharaan yang dimix dengan rutinitasku sebagai penulis (dan penyair) membuat kita jarang sekali berkomunikasi. Terakhir kali kau mengirim SMS untuk mengirimkan bukuku itu ke rumahmu. Aku sempat mencandaimu, ingin ditambahkan apa di buku tersebut—semisal tanda tangan, cap bibir, atau foto-fotoku. Tetapi, SMS yang terlewat malam itu tidak kau balas. Kau pasti sudah tertidur.
Setelah itu, aku tidak tahu kenapa aku lupa menanyakan kabarmu. Dan heran pula diriku mengetahui kau tidak sekali pun megirim atau menanyakan kabarku. Mungkin kau sedang sangat sibuk—sepertiku.
Akhirnya, karena aku lamat-lamat merasakan rindu mengalir di benakku—memikirkanmu, aku mengirim SMS kepadamu:
Tami, apakah kirimanku sudah sampai ke hatimu? Tidak dibalas. Mungkin kau sedang tidak punya pulsa.
***
Beberapa jam kemudian, kau menghubungiku. Namun bukan suaramu. “Nak Pringadi, ya?” Suara seorang perempuan yang lebih tua terdengar bersahaja. “Saya ibunya Tami.” Lanjutnya mengenalkan diri. Mendadak hatiku gelisah. “Iya, Bu, saya Pringadi, Taminya ke mana, Bu?” “Bukunya sudah sampai. Tadi kami baca. Tidak salah Tami mengagumimu dan banyak terinspirasi dari tulisan-tulisan Nak Pringadi.” Aku diam. “Kalau Tami ada salah-salah kata selama berteman dengan Nak Pringadi, mohon maafkan dia ya?” “Tami ke mana, Bu?” aku mengulang pertanyaanku. Dadaku tiba-tiba sesak. “Tami belum sempat membaca bukunya. Tami keburu dipanggil Allah. Beberapa hari lalu, dia masuk rumah sakit. Demam berdarah. Dia....” “Jangan dilanjurkan, Bu!” aku memotongnya. “Ini pasti bercanda, kan?” “Ini kenyataan, Nak.” “Tapi baru beberapa hari lalu kami berkomunikasi, Bu. Kematian tidak mungkin datang secepat ini pada perempuan sebaik dia!”
Aku tidak mendengarkan perkataan selanjutnya dari ibunya Tami. Aku mendadak lemas. Terisak. Dan membiarkan suara di sana berbicara sendiri.
Kubuka laptopku dan kusaksikan profil facebooknya. Segala kenangan tentangnya mendadak bermunculan dan berkelindan di mataku. Sebuah kalimat yang sering ia utarakan itu mengiang-ngiang di benakku.
Bisakah kita kehilangan tanpa pernah memiliki, Di? Andai kita berpisah, pastilah karena kematian telah mengisi rongga dadaku. Sebab di langit mana pun kita berada, bulan masih tetap sama, dan kalender-kalender yang bertanggalan, seperti helai dedaunan--- terlepas begitu saja dari ranting. Perjalanan seringkali tampak asing. Jejak sepatu kaca, yang sengaja kau tinggalkan, kerap tak terbaca. Dan gigil palem, menawarkan kesepian yang lebih buruk dari cuaca.  Aku tahu, aku tahu keberadaanku yang jauh dari sempurna bikin matamu sakit, tetapi hatiku yang tak mengenal rasa sakit mencoba tabah melebihi semua gegabah yang sering kulakukan. Andai kita berpisah, pastilah karena bulan di langit sudah tak sama. Angin malam, gerak bayangan di remang taman, dan sebuah lampu di tengah kolam melengkapi musim; Aku tergeletak. dadaku retak.
Jakarta, 2011 Utami Ramadhanti, Semoga Allah memelukmu di sana.
karya Pringadi Abdi Surya

Kamis, 02 Juni 2011

May Engkaukah itu?

"May, kaukah itu?" tanyaku ketika mendengar ketukan pintu. Tidak ada jawaban. Ketukan pintu masih terdengar. "May," panggilku dengan lembut.
Suara ketukan pintu menghilang.
Sepi.
Suara angin malam samar terdengar dan jam dinding berdetak seirama dengan denyut nadiku. Aku terpaku di sebuah kursi. Mataku lekat menatap pintu. Telingaku berusaha menangkap suara-suara betapapun kecilnya.
"May, benarkah kau?" tanyaku ketika ketukan pintu terdengar lagi.
Aku bangkit, membenahi pakaianku, merapikan rambut dengan tangan. Kurasakan ketegangan di wajahku. Aku berusaha menyunggingkan senyuman termanis yang kumiliki untuk kuberikan kepadanya. Aku ingin menyambut May dengan keramahan luar biasa. Dengan langkah teratur aku menghampiri pintu. Tepat di depan pintu suara ketukan  menghilang. Aku membukanya dengan perlahan, dan tak kujumpai siapa-siapa.
Mataku mengembara di sekeliling ruang depan. Kuperhatikan taman kecil di depan rumah. Sebuah pohon mangga, adakah May bersembunyi di situ? Aku bergegas ke sana, tidak ada apa-apa. Hanya lompatan katak yang mengejutkan.
Aku berdiri di depan pagar besi, memandangi sepanjang jalan. Kendaraan sekali-kali lewat, namun kesepian menjadi raja. Desir angin dingin merayapi tubuhku. Aku tidak memperdulikan. Suara gemerisik daun-daun akasia sepanjang jalan menyanyikan  lagu kesunyian. Hati tergiris. Lampu-lampu teras rumah sepanjang jalan kaku tersamar. Tersihir irama malam.
Entah berapa lama aku berdiri di sana. Kakiku letih. Aku masuk, dan duduk di teras. Duduk di kursi ini, kenangan manis dengan May yang muncul. Ya, sejak kami menempati rumah ini, hampir setiap senja kami menghabiskan waktu untuk bicara apa saja. Kemesraan yang terjalin menambah nyala api cinta. Namun kebiasaan itu menghilang tatkala aku dihantui oleh kesibukan-kesibukan yang tak pernah habisnya. May telah mengingatkan, tapi waktu itu kuanggap hanya romantisme belaka.
"Kau bisa menggunakan waktu senjamu dengan membaca. Itu lebih berguna," demikian komentarku waktu itu.
Beberapa hari May menampakkan wajah cemberutnya. Kuanggap itu hal wajar. Lama-lama ia akan mengerti juga bahwa waktu teramat terbatas untuk melakukan banyak hal. Bila tidak memanfaatkan waktu secara optimal, kita tidak akan bisa menjadi warga terhormat. Kita akan terlindas putaran roda kehidupan yang maha dahsyat. Kesibukan terus mengejarku. Kebiasaan berdialog saat senja hilang dengan sendirinya. Aku tahu, May pasti bisa mencari kegiatan  lain. Kesibukan terus mengejarku. Hari-hari menjadi sangat terbatas. Urusan ke luar kota, urusan ke luar negeri, urusan segala macam, membuatku jadi jarang bertemu dengan May. Ia pernah menggugatnya.
"Ini demi kehidupan kita. Kepercayaan yang mereka berikan kepadaku akan mengantarkan pada hidup sukses. Aku harus menjaga kepercayaan itu dengan baik,"
"Tapi bukan berarti menjadi budak!"
Terus terang aku tersinggung. Harga diriku terasa terhina. Kata-kata dalam kepalaku muntah. May sama sekali tidak menghargaiku. May mengalami kemunduran pemikiran!
Sejak itu May jadi lebih banyak diam. Ia tidak mau banyak berkomentar. Ia selalu menuruti kata-kataku betapapun buruknya permintaanku. Saat itu aku tidak memperdulikan perubahan sikapnya. Urusan perusahaan telah menghantarkan pada lingkaran baru. Lingkaran terseleksi. Orang-orang penting yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan, baik dengan hartanya maupun dengan jabatan yang dimilikinya berkumpul dalam lingkaran ini. Pada dialog-dialog tak resmi semua urusan jadi lancar. Dunia asing, dunia baru, banyak aku bersentuhan dengan hal-hal yang belum pernah kualami. Minuman, perempuan, perjudian bercampur baur dengan pembuatan policy.
Dunia gila yang menyenangkan. Seandainya aku tak berada di dalamnya, mungkin akan aku katakan komentar yang lain. Aku di dalamnya. Aku di dalamnya dalam pergulatan. Aku harus menjadi gila! Dengan demikian diriku dapat menyatu.
Kegilaan ini benar-benar aku nikmati sepenuhnya. Aku baru tahu, puncak karier bukanlah dunia kerja melainkan  dunia  main-main. Kita kembali ke dunia anak muda yang selama ini disorot dengan berjuta keburukan. Dunia main-main ini benar-benar permainan. Hari-hari dilalui melalui pesta-pesta.
Pada situasi ini, aku benar-benar melupakan May dalam  waktu-waktuku. Aku merasa telah menunaikan kewajibanku dengan memberinya kemewahan. Sampai suatu saat persengkongkolan tumbang. Pergantian pejabat berlangsung cepat. Hal yang tak terduga sama sekali. Semua tidak siap. Semua sempoyongan. Banyak yang ambruk ke tanah. Hanya beberapa yang bisa bertahan dengan bergerak cepat masuk lingkaran baru. Aku adalah salah satu korban. Perusahaan ambruk dengan cepat. Kekuatan yang ada selama ini hanyalah semu.
"Sejak itu May jadi lebih banyak diam. Ia tidak mau banyak berkomentar. Ia selalu menuruti kata-kataku betapapun buruknya permintaanku."
Perusahaanku sangat tergantung penuh pada lingkaran satu kekuasaan yang telah ambruk. Aku bagaikan kapas. Melayang diterbangkan angin. Aku butuh tempat bersandar. Aku butuh tempat untuk mengungkapkan segenap perasaan. Aku butuh dunia yang dapat menampungku dengan rasa kasih. Bukan dipertemukan dengan permainan kepentingan. Sebagai orang kalah, semua kawan dekat menjauhiku.
Hal yang wajar karena takut kepentingan mereka  terganggu. Bisa saja aku kembali mendekat, tapi dengan cara mengemis? Tak sudi rasanya terperosok pada kekalahan yang lebih dalam. Yang bisa menerima hanya keluarga. Yang bisa menerima hanya May. Tapi tanpa terduga  sama sekali, May pergi. May pergi sebelum aku sempat menyatakan penyesalan, sebelum sempat menceritakan mimpi-mimpiku.
Selama ini aku tidak pernah memperhatikan. Aku merasa dengan memberikan materi  yang berlimpah telah menunaikan  kewajibanku sebagai seorang laki-laki. Oh, May, maafkan aku. Aku merasa sangat berdosa. Aku ingin membangun dunia baru. Aku ingin menebus kesalahan-kesalahan. Aku ingin melangkah bersama May. Tapi May pergi! Penyesalan datang kemudian, tiada lagi berguna. Aku menjadi pesakitan. Aku meratap. Aku berharap. May, segeralah kembali!
* * *
Suara kentongan orang ronda menghentikan bayangan. Aku menengadah. Mencari bulan yang bersembunyi.
Ini hari kesekian. Dan aku tidak akan jemu. Aku akan terus menanti May. May pasti akan kembali. Keyakinan yang tertanam kuat di kepalaku.
Kepalaku terasa berat. Angin malam terasa sangat menusuk. Aku bangkit, lalu masuk ke dalam rumah. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 03.15 dini hari. Aku duduk di ruang tamu. Aku masih menanti May.
"May, kaukah itu? Kau kembali, May?" tanyaku mendengar ketukan pintu. Aku bangkit lalu berlari cepat menuju pintu. Tidak ada satu wajahpun kujumpai. Namun hidungku menangkap bau parfum yang tak asing. Parfum yang biasa digunakan May. Mataku mencari. Dan di depan pagar halaman sesosok tubuh berdiri tenang. May!
Meluap perasaanku. Kerinduan yang memuncak. May menerbangkan batinku dengan senyuman manis yang dilemparkannya. Aku berlari menghampirinya. Ia tersenyum lalu menggerakkan badannya dan berjalan menjauhiku.
"May, kembalilah kau!" teriakku.
Ia tak  menghiraukan teriakanku. Terus berjalan menyusuri jalan sunyi. Aku masih melihat bayangannya. Teramat dekat. Aku mengejar. Terus mengejar sambil berteriak memanggili namanya. Ia teramat dekat.Semakin dekat. Namun tak kunjung terkejar.
* * *
"May pasti akan kembali, bukan?" tanyaku pada Amri sahabat dekatku yang mengunjungiku.
Amri diam tak menjawab. Wajahnya menyembunyikan sesuatu.
"May pasti akan kembali, bukan?" tanyaku pada Amri dengan nada yang meninggi.
Amri tetap diam. Matanya tajam menyorot.
"May   pasti  akan  kembali. Bukankah  begitu, Amri?" teriakku sambil berdiri dan mencengkram bajunya. Amri tidak mencoba  bereaksi. Ia tetap diam. aku mengguncang-guncangkan tubuhnya sekeras mungkin.
"Jawablah Amri!"
Amri masih tetap diam.Tenagaku tiba-tiba hilang. Aku terduduk lemas. Amri mendekatiku. Menggenggam tanganku.
"Relakanlah ia pergi. Berdoalah agar ia mendapatkan  ketenangan dalam alamnya yang baru. Melihat kau seperti ini, ia pasti akan sangat gelisah,"
"Tidak! May pasti akan kembali! May pasti akan kembali!  May pasti akan kembali! Bukankah begitu Amri? May pasti akan  kembali!" aku terus berteriak-teriak histeris. Orang-orang berbaju putih berdatangan, mencengkram lenganku, memegang tubuhku. Aku meronta. Aku berteriak sekuat tenaga.
"May pasti akan kembali! Bukankah begitu Amri?" tanyaku pada Amri yang masih menatapku dengan wajah sayu.
* * *
karya Odi Shalahudin

Copet

Sudah beberapa jam aku berada di pasar ini. Berputar-putar memasuki lorong-lorong  sempit yang sesak manusia, jalan-jalan becek, toko-toko atau berdiri pada satu tempat mengawasi orang lalu-lalang.
Dan kini aku berdiri di ujung sebuah lorong. Bersandar pada sebuah tiang yang telah rapuh. Bau tumpukan sampah dari sayuran busuk sangat menyeruak hidup dan menganggu pernafasan. Namun aku tetap bertahan untuk tidak berpindah tempat. Dari hasil pengamatan, inilah tempat yang paling memungkinkan untuk menjalankan sebuah rencana yang bertahta di kepalaku. Tempat yang sangat strategis dengan resiko kegagalan yang kecil untuk mendapatkan mangsa namun penuh resiko bila mangsa bereaksi cepat. Tetapi resiko adalah sesuatu yang tidak asing dalam kamus kehidupan.
Semua gerak langkah manusia selalu mengandung resiko, mengandung dua unsur.Dan hidup akan sangat bergairah bila kita berani untuk menanggung resiko apapun dari hasil keputusan.  Keputusan  telah kutetapkan, maka hati harus mantap dan penuh keyakinan.  Meskipun aku sadar, keputusanku adalah sesuatu yang memalukan.  
Mataku liar mengawasi dengan seksama. Beberapa kali aku mengintai, membuat perhitungan-perhitungan sebagai pertimbangan untuk siap bergerak. Beberapa calon yang kurasa layak menjadi mangsa telah lewat begitu saja karena situasi yang belum mengijinkan. Atau karena perhitunganku yang terlalu dalam? Ah.
Kali ini mataku mengikuti seorang ibu bertubuh gemuk yang kedua tangannya sibuk membawa belanjaan. Jalannya sangat lambat, tampak lucu. Aku berharap ia akan memasuki lorong  itu. Desakan manusia menjadi celah untuk mendapatkan kesempatan. Dan darahku berdesir ketika dugaanku tepat. Ibu gemuk itu  memasuki  lorong. Aku cepat bergegas, membuang puntung rokok yang terkapit di jari.
Ibu gemuk itu ada sekitar dua meter di depanku. Di belakangnya seorang berambut gondrong, lalu bapak-bapak, seorang gadis, ibu tua, dan beberapa orang lagi.
Lorong itu sangat sempit tetapi panjang. Sesungguhnya lorong itu bisa dimasuki empat orang bila berjalan sejajar. Tapi kios-kios di sepanjang lorong itu telah  menggunakan bagian jalan sehingga hanya cukup untuk dua orang dengan sisa sedikit celah.
Aku  berusaha  keras untuk melewati orang-orang di depanku. Satu-dua berhasil dengan cepat. Tetapi seringkali harus menunggu saat yang tepat. Ketika orang di depanku berhenti di sebuah kios, maka badannya menghadap ke kios, berarti ada celah yang bisa dimasuki. Perlahan tetapi pasti. Namun nasib sial juga terjadi. Ketika bergerak cepat,  tubuhku terhuyung dan tanganku menyenggol barang dagangan. Pemilik kios memaki-maki.
"Dasar goblok! Sudah tahu jalan sempit!"
"Maaf, Pak," kataku sambil memunguti barang dagangan yang terjatuh. Otomatis orang-orang di belakangku jalannya terhambat. Mereka menggerutu. Aku tak menghiraukannya. Di pikiranku hanya si Ibu gemuk.
Tinggal dua orang lagi yang ada di depanku bila aku ingin berjalan tepat di belakang Ibu gemuk. Seorang pemuda berambut gondrong dan seorang bapak.
Ujung lorong tinggal beberapa meter lagi. Aku harus cepat. Kira-kira satu meter sebelum ujung aku sudah harus menjalankan rencanaku. Gesit sedikit sudah sampai jalan raya, dan terbuka beragam jalan untuk meloloskan diri. Aku bernafas lega ketika bisa melewati bapak itu. Tinggal pemuda gondrong.
Pikiranku mengembara, menghitung-hitung. Ah, sebaiknya aku tetap di belakang si gondrong. Dia bisa dimanfaatkan. Kegondrongannya adalah perwujudan dunia kasar, begitu  sebagian  besar pikiran orang-orang. Harus ada kesempatan untuk membuat si gondrong terjatuh dan menabrak si Ibu gemuk itu untuk selanjutnya kumanfaatkan  tanganku  meraih sasaran. Nafsuku semakin  besar manakala  kulihat dompet kulit ibu gemuk tersembul sedikit. Ah, ayo cepat berikan aku kesempatan.
Entah  siapa yang menggerakkan. Dari arah depan seorang kuli tiba-tiba masuk. Ia dengan seenaknya menyerobot orang-orang di depannya. Barang yang diangkutnya sangat besar sehingga banyak orang  mengalah  meskipun dengan rasa kesal. Makianpun  meluncur dengan deras.
Beberapa langkah lagi ia hampir dekat dengan Ibu gemuk. Ujung lorong semakin dekat. Ketika ia berpapasan dengan Ibu gemuk. si Ibu gemuk harus memiringkan tubuhnya karena jalan tidak cukup. Dengan bawaan di kedua tangan, ia tampak kerepotan.
Otakku berjalan. Dengan teramat rapih seolah-olah tak disengaja aku ayunkan kakiku menjegal si rambut gondrong hingga keseimbangan tubuhnya tak sempurna. Ia terhuyung dan hampir jatuh. Tubuhnya membentur tubuh Ibu gemuk itu. Si Ibu gemuk  berteriak-teriak marah. Begitu pula si kuli menunjukkan kekuasaannya dengan makian kasar. Kesempatan itu kupergunakan sebaik-baiknya. Perhatian mereka pada keributan, tanganku pada dompet kulit. Dan  sempurnalah sudah rencanaku. Keributan belum berakhir, aku tidak perduli.
Si Kuli sudah melewatiku. Aku cepat melewati si gondrong dan Ibu gemuk yang beradu mulut.
Aku  bersorak. Aku telah mencapai ujung lorong. Matahari di atas bersinar kuat. Kendaraan-kendaraan lalu-lalang tak  habis-habisnya mengepulkan asap mengotori udara. Samar-samar kudengar teriakan seorang perempuan, "Copet! Copeeet!"
Dadaku bergetar, aku segera menyebrang jalan. Di sana aku leluasa memperhatikan lorong yang baru kulalui. Orang-orang berteriak-teriak, seorang pemuda gondrong menjadi permainan perlakuan kasar masa. Tendangan dan pukulan bertubi-tubi menghantam tubuhnya. Sampai jatuh tersungkur di depan lorong. Tak berdaya. Tapi pukulan dan tendangan berpuluh-puluh orang masih saja tak  berhenti. Mereka lampiaskan kekesalan dengan kekerasan. Aku cepat bergegas.
Kalau kukatakan bahwa ini adalah hal yang pertama kali kulakukan, percayakah kau? Sungguh, ini adalah pengalaman pertama. Rencana berhasil dengan sangat gemilang. Asal kau tahu saja, keputusan ini berkat kemenangan satu pihak pada pertarungan diri. Hasilnya? Sekitar Rp 43.000 ditambah beberapa uang ratusan. 
Ah, setidaknya ini dapat membayar hutang di warung makan Mbak Inah yang setiap hari terus mendesak sampai membuat tagihan dengan tulisan besar yang ditempel di dalam warungnya sebagai salah satu cara menekan para penghutang yang lama tidak membayar. Aku mencoba memprotes, Mbak Inah dengan tenangnya mengatakan bahwa tulisan itu akan dicopot kalau hutang sudah terbayar. Setidaknya separonya. Ya, sudah sekitar  tiga puluhan ribu hutangku di sana. Ini lantaran bulan yang lalu wesel dari orang tua tidak kuterima. Memasuki bulan baru juga tiada kunjung datang. Itulah yang kubingungkan beberapa hari ini. Membuatku menggelepar. Perut harus terus diisi, sedang diri sudah  masuk blacklist. Untuk menumpang teman terus-menerus tidak enak pula. Bisa-bisa  malah  mendapat cap benalu. Hutang di warung lain? Sulit, belum punya hubungan. Ah, begitulah. Itulah yang mendorong untuk melakukan perbuatan yang baru saja aku lakukan.
Aku memasuki sebuah warung. Memesan es teh, menyambar pisang goreng. Setelah pisang goreng habis, aku memesan sepiring nasi. Makanku lahap sekali. Usai makan, kunyalakan sebatang rokok kretek, lalu asyik mempermainkan asapnya.
Pandangan mataku keluar warung. Kulihat Ibu gemuk berjalan tertatih-tatih dengan membawa dua belanjaan di tangannya. Hatiku berdesir. Ibu gemuk tadi! Tiba-tiba saja aku begitu gelisah. Terbayang kembali pemuda rambut gondrong yang menjadi kambing hitam terkapar dengan darah mengucur, kubayangkan bila si Ibu gemuk itu adalah seorang penjual nasi yang bersusah payah menempuh hidup untuk menambah penghasilan keluarga. Ah, kalau suaminya sudah tidak ada dan ia seorang janda? Ah, kalau anak banyak. Delapan misalnya. Lalu,aku? Tiba-tiba pertarungan hebat terjadi lagi di dalam diriku. Aku tidak mampu menguasai diri. Hanya jadi pendengar dan penonton.
Aku berdiri. Membayar dengan uang hasil jarahan. Lalu berdiri di pinggir jalan. Mataku menanti Ibu gemuk mendekat. Aku harus mengembalikan. Aku akan jujur bila isi dompet-nya telah berkurang seribu lima ratus lima puluh rupiah untuk  isi  perut. Dan kuharapkan ia mau menerima maafku.
Semakin dekat  dan semakin dekat. Aku mantapkan  hati. Sesampai di depanku, kupanggil ia. Tubuhnya telah penuh keringat, wajahnya tampak lelah dan matanya tampak sayu. Ia tampak heran. Kukeluarkan dompet Ibu gemuk itu dari saku celanaku. Wajahnya berubah.
"Maaf, Bu, saya pencopetnya, saya...."
Tidak sempat kuselesaikan kalimatku, Ibu  gemuk itu telah menjerit lantang, "Copeeeet.......!" sambil menjatuhkan kedua barang bawaannya.
Kulihat orang-orang berhamburan dari berbagai penjuru bagaikan api yang siap membakar. Pikiran normalku adalah tidak ingin menjadi debu. Aku berlari menyelamatkan diri.
Api berkobar, membakar wajahku, membakar punggungku, membakar perutku, membakar kakiku, dan aku tetap berlari.
Karya Odi Shalahudin

Namaku Buruh

amaku Buruh. Benar, bukan mengada-ada. Atau sok cari sensasi. Lihat saja KTP-ku, jelas tertera Buruh sebagai namaku. Nama lengkap. Singkat. Masih kurang percaya? Aku bisa meng-copy-kan akta kelahiran, raport dan ijazah sekolah. Masih kurang, aku bisa bawakan seluruh identitas yang kupunya. Semuanya konsisten. Buruh. Jelas tertera di situ. Di kolom isian nama.
Aku tidak tahu. Benar-benar tidak tahu. Bapakku ataukah ibuku yang memberi usulan bagi namaku. Atau nenek-kakekku? Entahlah. Aku telah ditinggal pergi mereka semua. Ya, saat aku masih bayi. Saat terjadi bencana. Kebakaran. Menghanguskan rumah-rumah bedeng. Ratusan jumlahnya. Banyak orang menjadi korban. Kehilangan harta benda. Juga nyawa puluhan orang. Termasuk orangtuaku, kakek dan nenekku.
Konon aku terselamatkan. Konon pula di dekat sosokku, ada beberapa surat yang terkait dengan kelahiranku. Akta kelahiran. Mungkin saat itu bapak atau ibuku tengah membaca ulang. Atau, ah, entahlah. Tak bisa kureka. Walaupun aku ada di sana. Tentunya sebagai bayi aku tidak memiliki kemampuan untuk mengingatnya. Akta kelahiran itulah yang menyebabkan namaku menjadi tidak hilang. Tetap melekat hingga aku dewasa. Sampai sekarang ini.
Aku tinggal di sebuah panti asuhan. Diselamatkan hidupku. Lantaran tidak ada satu orangpun yang mengetahui apakah aku masih memiliki keluarga. Jadi, pilihan yang tepat. Menyelamatkan. Menempatkan pada panti asuhan. Sejak bayi. Hingga dewasa. Hidup dalam komunitas anak-anak yang hampir sama nasibnya dengan diriku. Kehilangan kedua orangtuanya. Hanya berbeda-beda alasan dan peristiwanya.
Sekolahku lancar-lancar saja. Dari SD hingga SMP kurasa. Saat SMA, aku mulai tertarik dengan diskusi-diskusi bersama beberapa teman. Bukan diskusi tentang pelajaran. Tapi diskusi tentang pemberitaan mengenai kehidupan nyata. Modal kami hanya menonton televisi, membaca koran, atau menguping pembicaraan orang dewasa. Lantas, kami sering berdebat. Bisa sangat keras. Tapi setelah itu kami bisa terbahak-bahak dan saling berangkulan. Suatu hari iseng. Kami bersepakat memprotes keputusan dari pihak sekolah yang meminta sumbangan wajib kepada para siswa, bagi perbaikan gedung. Kami pun meniru seperti para mahasiwa yang sering kami lihat di jalan-jalan. Kami membuat poster-poster dari kardus. Menggalang kawan-kawan untuk ikutan aksi demonstrasi. Beberapa kawan berorasi. Akupun ikut. Wah, enak kalau orasi. Kita berteriak apapun, langsung saja disambut gempita. Pokoknya rame.
Tapi bermula dari aksi itulah, persoalan nama menjadi persoalan bagi hidupku. Sebelumnya orang hanya tertawa-tawa saja bila berkenalan denganku. Kemudian mengernyitkan kening ketika kuyakinkan. Benar, Namaku Buruh. Nah, pada aksi ini, pihak sekolah melapor ke kepolisian. Tidak beberapa lama, puluhan polisi sudah meminta kami untuk membubarkan diri. ”Atas nama undang-undang!” teriak seorang polisi melalui megaphone-nya, ”Kalian harus segera membubarkan diri,”
"Konon aku terselamatkan. Konon pula di dekat sosokku, ada beberapa surat yang terkait dengan kelahiranku. Akta kelahiran. Mungkin saat itu bapak atau ibuku tengah membaca ulang"
Seorang kawan, malah lantang berteriak, menyemangati kami untuk tetap bertahan. Kami diminta bergandengan tangan. Menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Benar-benar lagu perjuangan seperti Hallo-Hallo Bandung, Maju Tak Gentar, juga lagu Indonesia Raya. Kami merasa tersemangati. Merasa gagah dan bangga. Bisa seperti para mahasiswa.
Polisi merangsek, membubarkan paksa. Massa kocar-kacir. Kawan-kawan berlarian. Menyelamatkan diri. Anak-anak perempuan menjerit-jerit. Poster-poster dirobek oleh para petugas kepolisian. Beberapa orang ditangkap, termasuk diriku.
”Nama?” ”Buruh, Pak,” ”Nama? ”Buruh, Pak. ”Nama???!!!” ”buruh, Pak!” Meja digebrak. Membuatku tersentak. ”Jangan main-main. Nama kamu?!” ”Bu..ruh...” terbata, lirih. Sekali lagi meja digebrak dengan keras. Menimbulkan perhatian dari orang-orang yang ada di sana. Beberapa polisi mendekat ke arah kami. “Hm... pasti ada yang menghasut dirimu. Jangan suka-suka mengaku sebagai buruh. Kamu itu anak SMA. Jangan mau dicuci otak. Ayo, siapa mahasiswa yang meracuni kamu? Sebutkan saja namanya. Kamu tahu, buruh itu komunis? Kamu mau dianggap komunis?” seorang polisi dengan nada lebih ramah dibandingkan polisi yang tadi menginterogasi diriku. “Tapi, Pak. Nama saya memang buruh,”  “Ah, dasar kamu anak kecil! Tidak mau mendengar omongan! Syukur kamu Cuma dinasihati” polisi lainnya. ”tapi... benar...” ”Diam!!!” Meja digebrak lagi. ”Kamu tahu artinya komunis? Komunis itu tidak boleh hidup di sini!” “Nama?” Aku diam. “Nama?” Tetap diam. Menunduk. Bingung. Keringatan. Berdebar-debar. Terteror ”Nama?!” ”Bu..ruh.. Pak!” Tangan hendak melayang menggebrak meja, tapi tercegah seorang polisi lainnya. ”Sebentar. Mana kartu pelajarmu?” Aku segera mengeluarkan kartu pelajar dari dompet. Polisi itu memandang dengan seksama. Berbisik-bisik dengan polisi yang lainnya. Beberapa orang berusaha menahan tawa. Tapi lepas juga. ”Oh, namamu memang buruh. Ya, sudah. Jadi kamu bukan komunis,” Aku diinterogasi. Ditanyakan siapa yang merencanakan aksi demonstrasi. Dinasehati. Panjang lebar. Dari mulai ketahanan negara. Keamanan. Komunis. Teroris. Banyak sekali. Sampai tak muat otakku untuk menerimanya.
Aku bersama kawan-kawan dikeluarkan setelah pihak sekolah menjemput kami. Tapi kamu harus apel seminggu dua kali.
Kasus ini terdengar sampai ke telinga pengelola Panti. Aku beruntung, tidak dimarahi. Dia malah tertawa terbahak mendengar kisahku. ”Tidak apa-apa. Anak muda, memang harus memiliki pengalaman yang herois,” komentarnya. ”Bapak dulu juga pernah jadi aktivis,” Ah, legalah diriku.
Selepas SMA. Aku tahu tidak mungkin tergantung terus menerus kepada Panti. Aku tahu, kondisi keuangan mereka juga terbatas. Maka aku putuskan setelah lulus SMA mencari kerja. Keberuntungan memang tengah menyelimuti diriku. Tidak menunggu lama, aku diterima bekerja. Bekerja di sebuah pabrik. Di kota ini juga. Menjadi buruh.
Jadi namaku Buruh. Di kolom pekerjaan juga tertulis Buruh. Aku paham tentang hidupku. Aku tahu nasibku sebagai buruh tidaklah baik. Terus bergerak bersama mesin-mesin dalam nada dan irama yang statis. Bersama penghasilan yang jauh dari kebutuhan hidup. Aku paham, bila para buruh bersatu meneriakkan jeritan hatinya. Menyuarakan kepentingannya demi kehidupan yang lebih baik. Dan itu, bukan komunis. Sungguh. Aku berani meyakinkan itu. Ini soal manusia. Soal kemanusiaan.
karya Odi Shalahudin

Ordinari Kuta

"Tiga hari kita di Bali, setiap hari begini, menjelang senja berada di Kuta, aku duduk di sini dan kau bermain di batas laut mencium pantai."

Berada di Kuta, sore hari menjelang sunset, duduk di pasir memandang engkau yang tak lelah berjalan menyusur garis pantai, bermain dengan bibir ombak yang pecah lembut di barisan pasir yang seperti tak berujung. Keceriaan jelas menjadi gambar wajah, senyum tak pernah hilang, tawa kecil saat kau berlari menjauh agar jemari kakimu tak basah, jauh lebih menarik dari sekedar melihat matahari tenggelam ke batas pandang di ujung laut.
Mereka pasti memandang ini sebagai ironi terbesar dalam sejarah, karena ribuan dollar dipakai oleh sebagian orang hanya agar beroleh satu kesempatan dari ribuan hari hidup mereka, sehari saja, berada di Kuta dan memandang sunset. Belajar menabung dengan baik, berkonsultasi dengan ahli keuangan yang juga mengeluarkan banyak dollar, mengambil shift lembur lima hari sepekan, agar tetap mampu menabung tanpa harus kekurangan. Beberapa di antara mereka juga harus mengejar other job, demi satu tujuan. Suatu kelak, saat pundi-pundi tabungan mampu membekali perjalanan jauh, mereka akan terbang ke timur jauh, ke pulau yang disebut Island of God, untuk di suatu senja berada di pantai Kuta memandang matahari menghilang dan tersenyum takzim, puas, dan segala beban hilang lepas.
Kau lihatlah, seorang pria di sampingku, binar wajahnya memancarkan isyarat kepuasan yang tak mampu ditampung bahasa. Aku tadi mengajaknya bicara, tetapi tidak pada detik-detik ini. Detik di mana, suara tak lagi penting, aksara tak lagi bermakna, hanya rasa kagum yang dinikmatinya hikmat, seperti engkau menikmati konsekrasio, tak ingin diusik, pertunjukan kuasa-Nya terlalu Agung hanya untuk diganggu dengan pertanyaan, “How Long Have You Been In Indonesia?”; atau pertanyaan basi anak-anak jurusan pariwisata yang sedang melatih kemampuan berbahasa Inggris mereka, seperti, “Where you come from?”, “Do you like Bali?”, What do you think about Balinese?”
Kau lihatlah, dia menikmatinya dengan takjub yang sempurna, sehingga aku tak tega dan tak kan pernah tega menukarnya dengan pertanyaan basi yang tak sempat kuungkapkan sesaat sebelum detik ini, “where do you go after enjoying Bali?”. Aku menyimpan pertanyaan itu, untuknya dan untukku sendiri. Karena mungkin setelah detik ini, kami tak akan ke mana-mana dan mati. Mati di Bali.
Aku ingat waktu kecil, begitu terobsesi dengan tempat bernama Bali setelah mamaku bercerita tentang sebuah artikel yang dia baca di majalah perempuan entah apa, artikel berjudul JANGAN MATI SEBELUM ENGKAU KE BALI. Dia bercerita dengan sungguh-sungguh tentang Bali yang indah, kesungguhan yang membuatku sungguh-sungguh berniat suatu saat jika dapat, mengajaknya ke Bali. Beberapa tahun lalu, sebelum engkau hadir dalam hidupku, aku mengajaknya ke tempat ini, membiarkannya duduk di atas pasir ini dan tak mengajaknya bicara hingga beberapa jam setelahnya. Kulakukan itu agak tak merusak sensasi selembut kulit bayi yang terukir di pancaran wajah dan terpatri di hati.
Tugasku untuknya kuanggap selesai, dan kini aku berurusan denganmu. Ya, aku hanya berurusan denganmu, bukan dengan matahari tenggelam di batas pandang laut dari pantai bernama Kuta ini. Aku juga tak berurusan dengan pria siapapun namanya di sampingku yang kini mulai terbaring meneruskan menikmati sensasinya karena mentari benar-benar hilang. Aku tak berurusan dengan ramai kendaraan di belakangku, dan hentakan musik dari kejauhan di Hard Rock Café.
Aku hanya berurusan denganmu manisku. Engkau yang kini sedang menikmati irama kakimu menjejak pasir, tenggelam dalam dunia damai yang kau bangun sendiri, dunia damai yang ingin kau hayati sendiri, namun getar nuansa beningnya sampai di sini. Inilah mungkin yang mereka sebut telepati, mampu menikmati apa yang kau rasakan tanpa harus bersentuhan atau bicara. Tak butuh konsentrasi tinggi untuk itu, apalagi sampai harus menutup mata dengan kain tak tembus pandang. Hanya para pesulap yang memerlukan itu. Sedang kau dan aku? Kita hanya perlu rasa yang terasah sekian lama, hati yang berbagi sepanjang hari dan senyum yang terberi sepanjang waktu.
Kita telah melakukannya manisku, bahkan jauh sebelum aku memutuskan mengajakmu ke Bali, sejak awal aku melihatmu hadir dalam hidupku dan menguat tiga tahun silam saat dia tak lagi ada di antara kita, hanya kau dan aku, kita berdua dan hidupku dengan engkau menjadi sumbu, tempatku berputar mengelilingi. Aku bumi dan kau matahari. Kutegaskan sekali lagi, aku bumi dan kau matahari yang tak kuingin berhenti. Jangan berhenti, atau aku tak lagi mampu berputar. Posesif memang, naif mungkin, tetapi salahkah posesif, rendahkah naif, padahal aku menyayangimu sepenuh hati? Aku tak kan mengusikmu, merusak duniamu, menodai khayalmu. Kau punya dunia sendiri, kusadari itu dengan sepenuh jiwa; tak kan kupaksakan duniaku masuk ke duniamu, karena adakah artinya itu sementara duniamu adalah duniaku kini?
Jangan berhenti berpendar matahariku, meski sunset di Kuta ini telah lama lewat. Teruslah menari di bibir pantai.
Satu persatu telah meninggalkan pantai, juga pemuda Rusia yang tadi di sampingku. Sebagian dari mereka mungkin ke Legian, melanjutkan menikmati malam, menghabiskan lebih banyak dollar untuk sensasi yang lain. Aku tak perduli, karena aku tak kan beranjak dari tempatku duduk hanya agar mampu memandangimu tekun dalam duniamu, laut malam yang damai mencium pantai, tari-tarian kaki tak rapi, rambut ombakmu yang kau biarkan tergerai di sini di Kuta Bali.
Tiga hari kita di Bali, setiap hari begini, menjelang senja berada di Kuta, aku duduk di sini dan kau bermain di batas laut mencium pantai. Jam sembilan malam saat tempat ini tak lagi ramai, biasanya begitu seperti juga saat ini, kau selesaikan bermainmu dan mendekat.
Lihatlah, betapa kau menjadi lebih cantik setiap hari. Ah, aku terlalu mencintamu dan semakin bertambah setiap hari. Kau mendekat, berlari kecil, aku beranjak berdiri dari tempat ku duduk, berjalan kecil menyongsongmu, sembari payah menahan sesak cinta yang semakin menghimpit dada. Beberapa patah kata telah siap keluar, tetapi aku tahu, untukmu, cinta tak butuh kata-kata, dia hanya lebih berarti ketika hadir dalam sikap.
Kita semakin dekat, dan dekat sekali lalu kau menghambur dalam pelukku. Hanya beberapa detik, dekap itu membuatku semakin yakin, cintaku padamu lebih besar lagi hari ini.
Dan kita melangkah pergi meninggalkan pantai, sambil kau katakan ini, “Kalau Bunda di sini, pasti lebih indah ya Pa…”
Sesak di dada ini semakin terasa, tetapi kau tak berhenti berkata-kata. “Tapi Bunda pasti bahagia di surga kan Pa…?”
Kurasakan bulir bening dari bola mata akan jatuh ke pipi. Segera ku usap, sebelum kau lihat. Dan kudengar lagi kau bicara, “Sudah berapa tahun Pa, Bunda pergi?” Dan kau berkata lagi, “O iya, sudah tiga tahun ya… Tapi Bunda pasti melihat kita kan Pa?”
Aku berhenti. Kau juga berhenti. Tapi tangan kita tetap bergandeng. Ku tahu kau tak mendengar dengan telingamu, tetapi aku sedang bicara dalam hati dengan sepenuh jiwa sambil menatap mata beningmu. Kukatakan ini dalam hati, “Bunda ada di sini, di hatimu dan Papa. Bunda tak pernah pergi, apalagi meninggalkan kita, bunda telah menjelma menjadi kita dan pantai.”
Kau tak mendengar dengan telingamu, tetapi dengan hati dan mengerti. Lihatlah kau tersenyum kini, mengangguk kecil, tersenyum dan kita melangkah lagi.
“Besok ke sini lagi ya Pa,” katamu dalam hati “Pasti matahariku,” jawabku juga dalam hati.
Kuta yang biasa, adalah Kuta yang luar biasa dengan hadirmu perempuanku, matahariku.
Aku bumi dan kau matahari. Jangan sekali pendarmu mati, karena aku mencintaimu dan semakin mencintaimu setiap hari.
karya  Armin Bell

Peluru

Ibu, izinkan aku membasuh luka ini dengan rembesan keringat dari pori-pori tubuhmu Hatiku telanjur cedera oleh pecahan masa lalu yang terpisah dan terkucil dari laju-laju usiaku Kalaupun napasmu tak bisa lagi kusesap, kupinta doamu sampai perburuanku usai, juga munajatmu ketika lahadku berhiaskan nisan emas.
**** Empat peluru ini mungkin bisa membebaskanku dari beban dan tekanan jiwa akibat ulah mereka. Tapi setelah itu, tiga embrio akan menelanjangi pikiran sempit keturunanku kelak . Yang tebersit kini adalah bagaimana agar semua tak pernah muncul ke dunia ataupun bereinkarnasi dengan menjalani cerita yang sama.
“Ron, tolong kasih surat ini ke Ibu. Tak perlu ada alasan.” “Sekarang aku tak tahu lagi apa yang ada di pikiranmu, Dit.” “Kau akan tahu isi pikiranku setelah Ibu menerima dan membaca surat ini. Ini, kuberi uang untuk ongkos ke desa.” “Lalu, bagaimana denganmu?” “Tak perlu khawatir. Semua akan baik-baik saja. Aku tak mau kau tertangkap juga karena aku.”
****
Dodi dan peluru pertama.
Sebuah gedung tua tak berpenghuni di pinggiran kota. Jauh dari hiruk-pikuk dan kebisingan pabrik yang kadang memekakkan telinga. Juga kerumunan orang yang berlalu-lalang dengan garis hidup teratur ketika berada di seberang umur.
Mentari saat itu semakin tua oleh senja. Tapi ia tak menolongku ketika insiden itu terjadi. Atau rimbunan pohon yang setia menunggu hujan, lantaran dibuat dahaga sepanjang tahun oleh bejatnya perilaku manusia terhadap alam. Juga terhadapku ketika aku dibiarkan tergantung dengan kepala di bawah, di pohon dekat sekolah.
Ini hanya sepenggal kisah pertama tentang ketertarikanku mengulang saat-saat menjadi korban pertama dari peradaban manusia tak berotak. Aku hanya mengubah sosok korban itu dengan sang pelaku yang kini ada di tanganku.
“Bangsat kau, Dit! Lepasin aku! Polisi bakal dateng buat nangkep kamu! Jangan harap kamu bisa lari!” “Ya, polisi bakal dateng ke sini. Tapi bukan buat nangkep aku, justru buat bungkus mayat kamu di dalam plastik jenazah,” ujarku, tenang.
Tampak wajah ketakutan Dodi setelah mendengar perkataanku. Matanya melotot, napasnya tak beraturan, juga keringat bercucuran di pori-pori kulitnya.
“Tenang saja. Ini takkan sakit. Bukankah dulu waktu kau menggantungku di pohon kau tak merasakan apa yang aku alami? Kali ini hal itu akan terulang. Tapi mungkin yang tidak akan merasakan sakit sekarang adalah aku,” kataku. “Dit, jangan Dit, plis aku minta maaf Dit. Aku ngaku salah, Dit... Dit... Diiitttt!”
****
“Seorang pria berusia sekitar 25 tahun ditemukan tewas mengenaskan dalam keadaan tergantung dengan luka tembak di alat vitalnya dan luka gorok di lehernya. Diduga korban dibunuh oleh pelaku yang belum diketahui identitasnya. Sampai saat ini polisi masih menyisir tempat kejadian dan melakukan penyelidikan. Adapun mayat korban telah dimasukkan ke dalam plastik jenazah dan akan dibawa ke rumah sakit setempat. Berdasarkan keterangan para saksi, mereka mengaku tiba-tiba mendengar bunyi seperti ledakan yang kemungkinan suara senjata api yang berasal dari dalam gedung tua ini. Demikian Kabar Terkini TV News, saya Aulia Maya. Sampai jumpa satu jam mendatang.”
****
Ical dan peluru kedua.
Kepakan sayap burung itu selalu membuatku menitikkan tetes-tetes kehidupan 10 tahun silam. Sampai saat ini bahkan aku tak berani memandang sore dalam beranda. Setiap senja datang, amarah itu menyerang. Dan berangsur pergi ketika tangan ini memuaskan hasrat pikiran.
Hal kedua yang ada pada 10 tahun silam adalah tubuhku menggigil di sebuah sungai dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Udara bahkan semakin menusuk tulang ini ketika rintihan dan ratapan mewakili ketidakberdayaanku.
Pukul 00.00, hal itu terulang. Ical terduduk di sebuah kursi dengan tangan terikat dan mata tertutup. Juga tanpa sehelai benang pun.
“ Lepasin gue!!!! Arrggghh!!” “Halo, Cal. Masih kenal aku?” “Siapa di situ? Lepasin gue! Toloooong!!!” “Sssstt... percuma kamu teriak. Cuma Tuhan yang bisa dengar teriakanmu, selain aku.” “Siapa kamu!” “Apa kamu ingat, sepuluh tahun lalu, kamu dan Dodi pernah membawaku ke sebuah sungai. Kalian menyiksaku, melepas semua pakaianku, lalu membuangku ke sungai. Apa kamu ingat juga, saat itu aku meraung-raung seperti orang gila. Sedangkan kalian hanya tertawa.” “Adit? Kamu apa-apaan, Dit? Lepasin, Dit! Kamu udah gila!” “Ya, sampe sekarang, aku memang masih gila. Itu juga karena kalian.”
Sampai sekarang pun aku masih kecewa dengan cuaca. Udara saat ini tak membantuku menusuk tulang Ical. Dia juga tak tampak kedinginan. Sial!
“Trus mau kamu apa, Dit??” “Mauku sekarang adalah, masa-masa itu terulang... dan mungkin bisa lebih dari itu. Tapi tenang, aku tak akan sampai menyiksamu.” “Dit, aku bukan orang kayak gitu lagi sekarang. Aku udah punya istri dan anak.” “Tenang. Nanti ucapan terakhirmu akan aku sampaikan kepada mereka.”
Pelan-pelan kudekap kepala Ical dari belakang, lantas kudekatkan mulutku ke telinganya.
“Sekarang, ucapkan kata terakhirmu,” bisikku sambil menyentuhkan sebuah pistol di kepala Ical dan membuka sehelai kain yang menutupi matanya. “Apa maksud kamu, Dit?” Napas Ical mulai terengah-engah ketika tahu bahwa aku menempelkan sebuah pistol di kepalanya. Aku mulai merasakan detak jantung itu berpacu melawan deru mobil-mobil yang melintas di jalan. “Cepat katakan!” teriakku. “Kamu nggak bisa lakuin ini, Dit. Tolong aku, Dit. Aku punya anak dan istri,” ujar Ical sambil terisak dan menutup matanya. “Kalau kamu nggak mau ucapkan, istri dan anakmu yang akan aku bikin kayak gini.” “Oke... oke...,” ujar Ical, pasrah.
Perlahan aku melepaskan dekapanku dan menjauhkan pistol itu dari kepala Ical.
“Via... Lisa...  A...a...yah akan segera pulang. A...yah kangen sama kalian,” ucap Ical, terbata-bata. “Bagus. Tapi simpan ucapan itu sampai mereka menyusulmu.”
****
“Penemuan mayat kembali terjadi. Kali ini seorang pria yang diperkirakan berusia 26 tahun tewas dalam keadaan mengambang tanpa busana dan terikat di sebuah kursi. Diduga korban dibunuh lantaran di kepalanya terdapat luka tembak. Belum diketahui penyebab dan motif pembunuhan ini. Sampai berita ini diturunkan, polisi masih melakukan olah tempat kejadian perkara. Warga yang berkerumun di lokasi pun tak ada yang tahu persis kapan peristiwa ini terjadi. Selain itu, tak ada saksi yang bisa dimintai keterangan.”
****
Feri dan peluru ketiga.
Persetubuhanku dengan peluru ketiga belum juga usai. Kami masih memiliki janji untuk mencari Feri. Tapi sebuah kabar mengaburkan pikiranku. Feri masih berada dalam perjalanan dari luar negeri. Aku tak akan membiarkan dia mengalami kehidupan setidaknya sampai rembulan mendengkur malam ini.
“Pah, cepat pulang... tolong kami....” “Ada apa, Mah? Kenapa seperti panik begitu?” “A... da yang mau bu... nuh kita....” “Apa?”
Waktu seperti melaju dengan cepat. Ternyata tak sulit memancing Feri untuk bertemu dengan kematiannya. Aku tak perlu larut oleh suasana haru di rumah ini. Seorang wanita dan anak itu sangatlah manis. Terlalu indah buat mereka merasakan penderitaan.
“Tenang saja. Aku tak akan menyakiti kalian. Aku hanya membutuhkan Feri.” “Ada masalah apa kamu dengan Feri?” ujar wanita yang kuduga istri Feri itu, serak oleh tangisan dan ketakutan, sambil terduduk, merangkul sang buah hati di sudut dalam kamar. “Hanya masalah internal. Cuma kami berdua yang tahu.” “Tapi kenapa harus dengan senjata?” “Bukan urusanmu!!”
Tak berapa lama kemudian, teriakan Feri terdengar dari luar.
“Sayang..., Rena... di mana kalian??” “Mas... jangan masuk! Dia bawa senjata...!” kata Rena, istri Feri. Langkah Feri pun terhenti tepat di depan pintu. “Siapa pun kamu, jangan melukai istri dan anak saya,” ujar Feri.
Tiba-tiba di belakang Feri...
“Selamat malam, Feri.”
****
“Seorang pria lagi-lagi ditemukan dalam keadaan tak bernyawa kemarin malam. Polisi segera datang untuk menyisir tempat kejadian perkara. Pria yang tewas di depan rumahnya sendiri itu diduga tewas akibat tertembak. Itu lantaran ada bekas luka tembakan di bagian dada sebelah kiri menembus jantung. Hingga kini, belum diketahui motif pelaku penembakan ini. Polisi menduga, peristiwa beruntun ini dilakukan oleh pelaku yang sama. Sebab, dari tiga korbannya yang tewas, semua meninggal dengan luka tembakan. Dugaan ini juga diperkuat oleh peluru yang diselidiki polisi yang terbukti sama, yang bersarang di tubuh dua korban sebelumnya.”
****
Aku dan peluru keempat.
Ibu tersayang,
Setelah Ibu membaca surat ini, mungkin Adit sudah berada di alam baka. Ini memang keinginanku. Semua pelaku yang telah membuat jiwaku cacat mungkin telah tewas di tanganku sendiri.
Ibu jangan menangis. Ibu hanya perlu berdoa untuk keselamatanku di akhirat. Aku tak ingin menderita lagi seperti yang kualami di dunia. Aku sengaja menamatkan nyawa ini agar keturunanku kelak tak harus merasakan apa yang aku rasakan. Tolong sampaikan kepada Sarah, carilah suami yang lebih baik dariku. Aku tahu dia sengsara karena baru dua hari menjalani pernikahan, kami sudah berpisah. Aku sekadar tahu diri, aku tak ingin dia melahirkan anak seorang pecundang seperti ayahnya.
Terkadang hidup itu lebih indah jika kita menyelesaikan semua cerita yang mengunci keberadaan kita di dunia. Aku bahkan lebih senang jika tak pernah dilahirkan kalau di dunia hanya sebagai pelengkap penderita.
Hidup memang adalah pilihan. Tapi bagiku, pilihan itu tidak hanya dua, tapi tak terhingga. Dan opsi ketigalah yang aku pilih: menamatkan jiwa orang-orang yang pernah membuatku nelangsa dan jiwaku sendiri.
Ibu, aku meminta doamu.
Jakarta, 21 Mei 2010
Pecundang sejatimu
Adit
****
"Empat peluru ini mungkin bisa membebaskanku dari beban dan tekanan jiwa akibat ulah mereka. Tapi setelah itu, tiga embrio akan menelanjangi pikiran sempit keturunanku kelak ."
“Pemirsa, lagi-lagi ditemukan seorang pria tewas mengenaskan kemarin malam di sebuah kamar kontrakan dengan luka tembak di mulut dan menembus ke kepala bagian belakang. Diketahui pria tersebut bernama Aditya Pramana berumur 25 tahun. Di sekitar tubuh korban ditemukan senjata api yang diduga selongsong peluru yang digunakan sama dengan peluru yang ditemukan dalam tubuh tiga korban tewas sebelumnya. Polisi juga menduga pria tersebut tewas akibat bunuh diri lantaran saksi yang juga pemilik rumah kontrakan ini sempat mendengar suara tembakan dari dalam kamar korban. Namun, ketika saksi mencoba melihat kejadian sebenarnya, pintu kamar korban terkunci. Ada kemungkinan korban adalah pelaku pembunuhan beruntun yang selama ini dicari.”

karya Hadi Yuda

Minggu, 29 Mei 2011

Misteri Lukisan Kuno


Akhirnya setelah kemarin baru memberikan link untuk melihat karya saya yang kedua sekarang saya akan berikan karya pertama saya yang tercipta secara tidak sengaja. karena ini dahulu adalah tugas salah satu mata kuliah yang mengharuskan saya untuk membuat satu novel dalam 1 bulan.

Novel ini bergenre misteri romatis, dengan judul Misteri Lukisan Kuno. dimana ceritanya mengisahkan tentang seorang detektif yang mencari jawaban pembunuhan yang menyangkut sebuah lukisan, serta bagaimana kehidupan percintaan detektif tersebut. semuanya saya tuangkan ke dalam sebuah novel yang berjudul Misteri Lukisan Kuno.
berikut link nya.

Sabtu, 28 Mei 2011

Web Pojok Sastra

ayo segera kunjungi web kami dan daftarkan diri anda menjadi member dan tentunya di sedikan forum untuk para member yang ingin mendiskusikan kesastraan, berikut linknya:
http://pojoksastra.webs.com/index.htm


ayo jangan sampai ketinggalan

I Love Football

ini merupakan karya saya yang kedua dalam kategori Novel, yang mengilhami terlahirnya novel ini yaitu serial Captain Tsubasa yang di putar di salah satu stasiun TV swasta di tahun 2002. Dalam cerita ini selain sepakbola saya masukan unsur percintaan remaja ke dalamnya,,,,

kalau diantara kalian ingin melihat karya kedua saya silahkan download link di bawah ini:
download


Dan tolong hargai karya saya ini dengan tidak menyalahgunakan karya saya ini tanpa seizin saya.

terima kasih

Puisi: MATI

Hidup adalah Menunggu Kematian,
bagaimanapun nyamannya
hidup didunia pasti akan
Menemui Mati. Kaya Miskin
tetap akan Mati. Masalahnya
siapkah kita Menghadapi Mati? Sungguh beruntung
bagi orang2 yg mempunyai
bekal yg cukup menuju
Alam Barzah.